Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara.
JAKARTA, DDTCNews – Perdebatan mengenai perluasan objek pajak penghasilan (PPh) masih terus berlangsung. Hal tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (22/8/2019).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pembahasan mengenai rancangan revisi Undang-Undang (UU) PPh masih terus berlangsung. Salah satu aspek yang masih menjadi perdebatan adalah peluasan objek PPh.
“Penambahan objek pajak [penghasilan] untuk mendorong untuk mendorong investasi. Tetapi perdebatannya belum selesai,” katanya.
Saat ini, pemerintah tengah mempertimbangkan pemetaan objek pajak berdasarkan aset. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan pemungutan pajak yang lebih berkeadilan. Sampai saat ini, persoalan aset masih menjadi sumber ketimpangan di Indonesia.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti topik rencana pemerintah merevisi kembali ketentuan tax allowance. Bersamaan dengan hal tersebut, beberapa media nasional juga memberitakan topik belanja perpajakan (tax expenditure).
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kepala BKF Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan selain perluasan objek PPh, pemerintah tengah mengkaji beberapa aspek lain. Salah satunya terkait dengan penurunan tarif PPh badan, termasuk perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO).
“Itu kan ada seperangkat bukan hanya PPh badan yang korporasi, tetapi PPh lainnya, misalnya mereka yang IPO,” katanya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat perluasan objek pajak sebagai salah satu upaya memperluas basis pajak merupakan hal semakin relevan pada saat ini. Hal ini menjadi langkah yang penting di tengah upaya mendorong daya saing melalui instrumen fiskal.
“Untuk perluasan objek pajak baru, penting untuk digarisbawahi bahwa justifikasinya bukan melulu soal penerimaan,” katanya.
Perluasan objek juga dapat bertujuan untuk mengatasi ketimpangan, menekankan aspek keadilan, mencegah penghindaran pajak melalui kerugian fiskal secara artifisial, mendorong reinvestasi dan mencegah praktik penangguhan dividen, maupun menyesuaikan dengan perkembangan model bisnis.
“Semua opsi tersebut justru harus dipertimbangkan karena masing-masing memiliki alasan yang rasional serta memiliki kelebihan dan kekurangannya,” katanya.
Ada beberapa aspek yang masuk dalam rencana revisi ketentuan tax allowance yang saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.18/2015. Pertama, simplifikasi prosedur. Kedua, perluasan sektor usaha. Ketiga, peningkatan kepastian hukum.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Raden Pardede mengatakan insentif pajak seharusnya diarahkan untuk industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Hal ini akan membuat ekspor akan meningkat sehingga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah, sambungnya, juga harus secepatnya mengkaji dampak belanja perpajakan (tax expenditure) terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, laporan belanja perpajakan bisa melengkapi evaluasi kebijakan pemerintah. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.