PRANCIS

Rencana Aksi BEPS Tak Mudah bagi Negara Berkembang, Ini Alasannya

Muhamad Wildan | Kamis, 14 Oktober 2021 | 16:30 WIB
Rencana Aksi BEPS Tak Mudah bagi Negara Berkembang, Ini Alasannya

Ilustrasi.

PARIS, DDTCNews - Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengungkapkan negara-negara berkembang masih menghadapi banyak hambatan dalam mengimplementasikan BEPS Action Plan atau Rencana Aksi BEPS.

OECD mencatat masih terdapat banyak tantangan dari sisi kapasitas otoritas pajak dalam melaksanakan Rencana Aksi BEPS. Meski demikian, negara berkembang tetap memiliki peran penting dalam memperkuat sistem perpajakan internasional.

Oleh karena itu, OECD bersama organisasi lainnya tetap memberikan bantuan melalui asistensi teknis dan pengembangan kompetensi.

Baca Juga:
Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

"Bantuan lebih lanjut dapat memberikan kontribusi dalam upaya domestic resource mobilization (DRM) yang dilakukan oleh negara berkembang," tulis OECD pada laporan Developing Countries and the OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS, dikutip Kamis (14/10/2021).

Menurut OECD, negara berkembang masih memerlukan bantuan dalam memenuhi ketentuan country-by-country reporting (CbCR). Hingga saat ini, hanya 3 negara berkembang non-OECD/G20 yang dapat memenuhi standar pada ketentuan CbCR.

Selanjutnya, masih terdapat banyak negara berkembang yang belum memiliki ketentuan yang efektif untuk membatasi excessive interest deduction.

Baca Juga:
Otoritas Ini Usulkan Perubahan Aturan Pencegahan WP ke Luar Negeri

Negara berkembang juga diketahui masih akan memerlukan asistensi untuk menerapkan Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE). Asistensi dan peningkatan pemahaman mengenai solusi 2 pilar diperlukan agar kedua proposal dapat dilaksanakan secara efektif dan tepat waktu.

"Kegagalan dalam merespons kebutuhan capacity building bisa menghambat implementasi dari solusi 2 pilar dan menggerus komitmen negara berkembang dalam menerapkan kedua proposal tersebut," tulis OECD.

Selanjutnya, negara-negara berkembang terutama yang kaya SDA masih menghadapi banyak tantangan dalam memajaki penghasilan dari sektor tambang.

Di banyak negara berkembang, sektor pertambangan belum dapat dipajaki secara optimal akibat banyak kebijakan fiskal warisan pemerintahan sebelumnya yang sudah tak relevan. Belum lagi, banyaknya kebijakan khusus bagi sektor tambang, masifnya praktik BEPS oleh korporasi multinasional, dan korupsi. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra