Direktur DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji (bawah) bersama Kepala Departemen Pajak, PT. Pamapersada Nusantara Ahmad Sihabudin Arbai dan Direktur Eksekutif ASPINDO Bambang Tjahjono dalam webinar bertajuk Mining Talk Series #21: Perkembangan Lanskap Perpajakan Terkini dan Dampaknya bagi Sektor Pertambangan yang digelar Pamerindo Indonesia, Rabu (5/4/2023).
JAKARTA, DDTCNews – Arah reformasi pajak harus difokuskan pada peningkatan penerimaan sekaligus mencegah sengketa.
Direktur DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan agenda reformasi akan membuat lanskap pajak berubah sangat dinamis. Perubahan ini berpotensi menimbulkan sengketa, terutama ketika belum tersedianya ketentuan teknis atau adanya grey area interpretasi kebijakan.
“Seperti gagasan Founder DDTC, Pak Darussalam, reformasi pajak seharusnya meningkatkan penerimaan, tetapi jangan penerimaan yang berbasis sengketa. Jangan sampai pula gara-gara penerimaan, sengketanya jadi banyak,” ujarnya, Rabu (5/4/2023).
Dalam sebuah webinar bertajuk Mining Talk Series #21: Perkembangan Lanskap Perpajakan Terkini dan Dampaknya bagi Sektor Pertambangan yang digelar Pamerindo Indonesia, Bawono menguraikan setidaknya ada 10 aspek yang perlu menjadi pertimbangan agar arah reformasi pajak tepat.
Pertama, meaningful participation dalam perumusan sistem pajak. Bawono mengatakan partisipasi dari banyak pihak, termasuk asosiasi, sangat dibutuhkan dalam perumusan sistem. Adapun keterlibatan itu sangat relevan saat penyusunan kebijakan dan hukum.
Kedua, penargetan penerimaan pajak yang lebih terukur. Penetapan target harus mempertimbangkan aspek teknis dan kondisi ekonomi. Jika penetapan target terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan pertumbuhan basis ekonominya, ada risiko tumpuan penerimaan hanya pada wajib pajak tertentu.
Ketiga, perspektif reformasi yang tidak terpaku pada kepentingan jangka pendek untuk menutupi shortfall pajak. Gencarnya upaya meningkatkan penerimaan untuk menutup risiko tidak tercapainya target (shortfall) berisiko memunculkan sengketa.
Keempat, indikator pengukuran kinerja otoritas yang tidak semata-mata atas penerimaan. Beberapa aspek yang bisa digunakan menjadi indikator adalah tingkat pelayanan dan kepastian hukum. Misalnya, kepastian terkait dengan risiko kepatuhan dan potensi sengketa.
Kelima, paradigma pengadilan pajak sebagai gawang terakhir penyelesaian sengketa perlu dihindari. Otoritas, sambung Bawono, perlu mengoptimalkan saringan (filter) sebelum masuk ke sengketa banding atau peninjauan kembali.
Keenam, desain hukum yang jelas, detail, dan berkepastian serta dituangkan dalam panduan administrasi untuk mencegah interpretasi berbasis diskresi.
Ketujuh, paradigma cooperative compliance. Adanya transparansi perlu dipertukarkan dengan kepastian. Hal ini juga mensyaratkan hubungan yang saling setara serta saling percaya antara otoritas dan wajib pajak.
Kedelapan, sanksi yang proporsional dan tidak berada dalam grey area. Bawono mengatakan sanksi yang proporsional penting karena berkaitan dengan upaya wajib pajak mencari keadilan lewat jalur hukum. Hal ini juga berfungsi untuk menjaga agar wajib pajak tidak keluar dari sistem karena sanksinya terlalu berat.
Kesembilan, prosedur alternative dispute resolution. Melihat banyaknya sengketa yang masuk ke Pengadilan Pajak, perlu ada alternatif penyelesaian. Bawono memberi contoh mengenai optimalisasi upaya mediasi sebelum masuk ke Pengadilan Pajak.
Kesepuluh, penguatan tax ombudsman sebagai lembaga yang menjamin hak-hak wajib pajak. Peran tax ombudsman penting untuk menjamin hak-hak wajib pajak dilindungi dengan jelas di tengah upaya optimalisasi penerimaan. Dalam konteks Indonesia, Komwasjak seyogianya berperan besar. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.