Suasana aktivitas jual beli kebutuhan pokok di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Rabu (17/6/2020). World Bank mengungkapkan rasio pajak terhadap PDB Indonesia 2018 adalah salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/aww)
JAKARTA, DDTCNews - Rendahnya realisasi pendapatan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) dinilai menjadi faktor yang menyebabkan tertekannya tingkat belanja negara pada APBN dari tahun ke tahun.
Dalam laporan World Bank (WB) yang berjudul Public Expenditure Review: Spending for Better Results, World Bank menemukan rasio pendapatan negara terhadap PDB Indonesia termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya.
Pada 2018, rasio pendapatan negara terhadap PDB hanya sebesar 14,6%, sedangkan negara berkembang lain tercatat mampu mencapai 27,8% Dari sisi belanja, rasio belanja negara terhadap PDB pada 2018 hanya 16,6%, lebih rendah dari rata-rata negara berkembang yang mencapai 32%.
"Rasio pajak terhadap PDB sebesar 10,2% dari PDB pada tahun 2018 masih merupakan salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang dan negara-negara berkembang di kawasan," tulis World Bank dalam laporannya, Selasa (23/6/2020).
Menurut penghitungan World Bank, tax gap atau selisih antara potensi penerimaan pajak dengan realisasi penerimaan pajak di Indonesia termasuk lebar. World Bank mencatat realisasi pajak yang terkumpul pada kas negara masih kurang dari 50% dari potensi aslinya.
World Bank mencatat ada empat penyebab mengapa realisasi penerimaan pajak masih sebegitu rendah. Pertama, ada faktor siklus di mana kinerja penerimaan negara masih sangat terkait dengan harga komoditas. Kinerja penerimaan pajak akan cenderung baik ketika harga komoditas tinggi.
Kedua, struktur ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada sektor sumber daya alam (SDA) yang ekstraktif serta masih tingginya kegiatan ekonomi informal.
Ketiga, kapasitas teknologi informasi dan kapasitas staf masih rendah. Rendahnya kapasitas ini berujung pada basis pajak yang sempit akibat pendaftaran wajib pajak yang terbatas serta kepatuhan pajak yang rendah.
Lembaga Bretton Woods Amerika Serikat ini secara khusus menyoroti kepatuhan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) yang hanya sebesar 56,6%.
Keempat, kebijakan pajak di Indonesia masih kurang optimal akibat banyaknya barang kena pajak dan jasa kena pajak (BKP/JKP) yang dibebaskan dari PPN.
Kemudian juga ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang tinggi, sistem preferensial yang terdistorsi, tingginya ambang batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), hingga kurang dimanfaatkannya cukai untuk mengoreksi eksternalitas negatif.
World Bank juga menyorot rendahnya PTKP yang menyebabkan hanya 10% penduduk yang memiliki kewajiban PPh tahunannya. Dengan ini, hanya 15% dari pekerja yang aktif membayar pajak kepada otoritas pajak.
Secara garis besar, World Bank menyarankan kepada Pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan perluasan basis pajak baik atas PPN maupun PPh sembari meningkatkan progresivitas dan memperbaiki sistem administrasi perpajakan.
Perbaikan sistem administrasi perpajakan, masih dari World Bank, diperlukan dalam rangka meringankan biaya kepatuhan serta meningkatkan kepatuhan sukarela (voluntary compliance).
Ruang fiskal juga perlu terus diperlebar dengan merealokasi belanja subsidi energi dan subsidi pupuk yang dinilai tidak efisien. Sebagai kompensasi atas dampak reformasi terhadap 40% penduduk termiskin, pemerintah perlu menyalurkan bantuan langsung tunai yang lebih tepat sasaran. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Ini bisa dijadikan pengingat dan motivasi untuk digenjot lagi