Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Revisi atas UU KUP yang diusulkan oleh pemerintah perlu dilihat secara komprehensif. Seluruh pihak juga dinilai perlu melihat paket-paket kebijakan pajak yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan RUU KUP adalah bagian yang tidak terlepaskan dari rentetan kebijakan pajak yang lebih dulu ditetapkan melalui UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dan program digitalisasi sistem perpajakan.
"Ketiga pilar ini [RUU KUP, UU Cipta Kerja, dan digitalisasi] kalau dikombinasikan dengan baik nantinya bisa mendorong Indonesia berdaya saing dan mampu membiayai pembangunannya secara lebih sehat," ujar Bawono dalam program Hot Economy yang disiarkan oleh Berita Satu, Kamis (9/9/2021).
Memang, menurut Bawono, terdapat sejumlah klausul dalam RUU KUP yang menimbulkan pro dan kontra di ruang publik. Namun kalau dilihat secara komprehensif, terdapat banyak klausul yang justru mampu mendorong terciptanya sistem pajak lebih ideal.
Beberapa contoh klausul yang dimaksud antara lain ketentuan mengenai asistensi penagihan lintas yurisdiksi serta penunjukan pihak lain sebagai pemungut pajak.
"Contoh bantuan penagihan pajak lintas yurisdiksi, ini akan memampukan Indonesia bagaimana agar jangan sampai ada penanggung pajak lari ke luar negeri dan tidak membayar pajak," ujar Bawono.
Dengan adanya klausul mengenai asistensi penagihan, Indonesia secara resiprokal dapat memberikan bantuan penagihan kepada negara mitra dan juga dapat meminta bantuan kepada yurisdiksi mitra untuk melakukan penagihan pajak.
RUU KUP juga mengusulkan adanya klausul yang memungkinkan otoritas menunjuk pihak lain untuk memungut PPh, PPN, hingga pajak transaksi elektronik (PTE). "Ini nanti akan menyasar ekosistem digital agar membayar pajak lebih patuh dan menciptakan level playing field dengan yang konvensional," ujar Bawono.
Adapun klausul yang tergolong kontroversial dan menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat adalah ketentuan mengenai PPh minimum atau alternative minimum tax (AMT).
Dalam praktiknya di berbagai negara, AMT sesungguhnya berperan sebagai safeguard guna mengantisipasi perencanaan pajak (tax planning) secara agresif. Dengan klausul tersebut, wajib pajak yang melakukan aggressive tax planning setidaknya memiliki kontribusi minimum terhadap penerimaan pajak.
Sebagaimana yang menjadi international best practice, sasaran utama dari AMT sesungguhnya adalah wajib pajak yang secara artifisial membukukan kerugian dalam laporan keuangannya, bukan wajib pajak yang masih merugi karena baru memulai usahanya.
"Jadi ini kita kawal bersama juga karena kita berupaya mengembalikan ke konsep dan best practice-nya seperti apa," ujar Bawono.
Kesimpulannya, RUU KUP adalah terobosan yang diperlukan untuk meningkatkan tax ratio dari yang saat ini di bawah 10% menjadi sebesar 15% sesuai dengan rekomendasi IMF. Bila tidak ada terobosan kebijakan, penerimaan pajak berpotensi stagnan dalam jangka menengah mengingat pemulihan penerimaan pajak cenderung lebih lambat dibandingkan dengan pemulihan ekonomi pascakrisis. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.