DALAM proses pemilihan umum 2019-2024, setiap pasangan calon membuat dan menginformasikan visi misi mereka masing-masing. Di dalamnya sudah mencakup program aksi yang merefleksikan rencana kebijakan yang akan dijalankan, termasuk kebijakan perpajakan.
Menariknya, kedua pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memiliki arah kebijakan yang berbeda. Kubu pertahana menggenjot penerimaan, sedangkan kubu lainnya memberikan banyak insentif.
Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin merencanakan kebijakan perpajakan dengan fokus melanjutkan refomasi perpajakan dan optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di sisi lain, Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merencanakan kebijakan perpajakan yang lebih banyak menstimulus ekonomi masyarakat dengan cara menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), menghapuskan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaanPBB-P2 untuk rumah utama dan pertama, serta reformasi birokrasi perpajakan.
Salah satu rencana kebijakan perpajakan yang perlu dikaji lebih dalam adalah penghapusan PBB-P2 bagi rumah utama dan pertama. Kebijakan tersebut dapat dianalisis melalui pertimbangan kelebihan dan kekurangan serta bagaimana desain kebijakan yang lebih tepat diterapkan di Indonesia.
PBB-P2 merupakan pajak pusat yang beralih menjadi pajak daerah yang berlaku mulai dibentuknya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan begitu, pemasukan yang didapatkan dari PBB-P2 akan menjadi sumber keuangan daerah.
Jika sampai diberlakukan kebijakan penghapusan PBB-P2 ini, daerah akan mengalami kerugian dan kekurangan dana sebesar penerimaan PBB-P2 yang seharusnya. Hal ini akan menimbulkan masalah-masalah lain, seperti pemotongan anggaran-anggaran pemerintahan dan bahkan dapat mengganggu program pemerintah daerah.
Selain itu, penerapan kebijakan ini juga membutuhkan sistem dan administrasi yang baik dan terintegrasi. Sedangkan kondisi di Indonesia saat ini masih belum siap dalam segi sistem dan administrasi.
Masyarakat Indonesia masih belum tertib administrasi agraria dan masih banyak bangunan yang belum memiliki sertifikat tanah yang bersengketa, sehingga dapat menyebabkan kesulitan dalam menentukan rumah pertama dan rumah yang bukan rumah pertama.
Kemudian, kebijakan penghapusan PBB-P2 ini merupakan kebijakan yang mengarah pada konsep Land Value Tax (LVT), yang menitikberatkan kepada nilai tanah, bukan bangunan yang ada di atas tanah tersebut.
Dengan begitu, beban pajak akan menjadi lebih berat karena tidak ada tambahan penghasilan dari memanfaatkan tanah tersebut dan tarif pajak progresif bagi rumah-rumah setelah rumah utama. Masyarakat yang biasa ‘menyimpan’ tanah dan rumah-rumah akan berpikir dua kali untuk menganggurkan rumahnya.
Bagi masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, penghapusan PBB-P2 akan membantu mereka. Melihat kondisi saat ini, masyarakat banyak yang mengeluh dalam membayar PBB-P2 yang disebabkan oleh besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan masing-masing daerah.
Dengan diberlakukannya kebijakan ini, biaya yang seharusnya mereka bayarkan untuk membayar pajak dapat mereka gunakan untuk keperluan konsumsi lainnya bahkan untuk menabung.
Alternatif Desain Kebijakan Lain
Jika melihat dari aspek sistem pemungutan pajak menurut Adam Smith (1776), salah satu asas pemungutan pajak adalah asasequity/equality, artinya harus ada keadilan di setiap pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah.
Pajak yang dipungut sesuai dengan kemampuan ekonomis yang dimiliki oleh masing-masing wajib pajak. Dengan demikian opsi yang dapat diterapkan adalah dengan menaikkan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Dengan dinaikkannya threshold bagi PBB-P2, masyarakat dapat lebih kecil beban pajaknya dan beberapa masyarakat yang NJOP-nya di bawah threshold dapat terbebas dari pajak. Beban pajak yang seharusnya dibayar dapat digunakan untuk keperluan konsumsi lainnya.
Permasalahan yang ada saat ini adalah NJOP yang dikeluhkan masyarakat masih tinggi, sehingga opsi berikutnya adalah pemerintah dapat menurunkan NJOP yang ada saat ini. Walaupun terdapat potensi pengurangan bagi penerimaan, tetapi tidak begitu berdampak dan masyarakat akan merasa lebih senang karena ada pengurangan pajak baginya.
Selain itu, opsi yang lainnya adalah dengan memperbaiki sistem pemungutan PBB-P2 dan juga meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat agar dapat meningkatkan kesadaran membayar Pajak PBB-P2. Memperbaiki sistem maksudnya adalah memperbaiki sistem administrasi dan prosedur pembayaran PBB-P2 agar tidak terlalu bertele-tele.
Dengan sistem yang ringkas, masyarakat akan lebih semangat dalam membayar pajak. Kemudian untuk sosialisasi, pemerintah daerah harus lebih agresif untuk memberikan informasi tentang PBB-P2 seperti prosedur pembayaran, besarnya pemasukan dan transparansi penggunaan dana.
Opsi yang terakhir adalah dengan mengimplementasikan LVT secara penuh di Indonesia. PBB-P2 dapat dihapuskan dan pemerintah dapat mengenakan pajak LVT. Jenis pajak ini telah diterapkan di banyak negara seperti Denmark, Australia, Hongkong, Singapura.
Pajak ini telah sukses selain untuk menaikkan penerimaan pajak juga dapat menimbulkan efek multiplier lainnya seperti dapat mendorong penggunaan tanah untuk kegiatan produktif, mengurangi risiko penghindaran pajak karena tanah merupakan aset yang bernilai tinggi, tidak dapat dipindahkan dan kepemilikan mudah untuk diidentifikasi, serta membuat para penyimpan tanah akan berpikir dua kali untuk ‘menyimpan’ tanah, sehingga diharapkan inflasi harga tanah dapat lebih ditekan.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.