PAJAK DAERAH (20)

Proses Keberatan dan Banding dalam Penyelesaian Sengketa Pajak Daerah

Hamida Amri Safarina | Senin, 12 Oktober 2020 | 15:14 WIB
Proses Keberatan dan Banding dalam Penyelesaian Sengketa Pajak Daerah

PERBEDAAN perhitungan pajak atau interpretasi atas peraturan perpajakan berpotensi menimbulkan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. Sengketa pajak tidak hanya dapat terjadi dalam rezim pajak pusat saja, tetapi juga pajak daerah.

Penyelesaian sengketa pajak daerah dilakukan melalui proses keberatan dan banding secara bertahap berdasarkan Pasal 103 dan pasl 104 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Selain itu, ada juga upaya hukum gugatan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dasar hukum pengajuan gugatan tersebut tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif (PERMA 6/2018).

Baca Juga:
Persiapan Persidangan di Pengadilan Pajak yang Wajib Pajak Perlu Tahu

Dalam artikel ini akan dijelaskan proses keberatan dan banding dalam konteks terjadi sengketa pajak daerah.

Keberatan
DALAM UU PDRD tidak disebutkan definisi keberatan dalam sengketa pajak daerah. Secara sederhana, keberatan dapat diartikan sebagai upaya yang dapat ditempuh wajib pajak apabila tidak puas atau tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan pajak yang tertuang dalam surat ketetapan pajak daerah.

Merujuk pada Pasal 103 ayat (1) UU PDRD, wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atas keluarnya surat tertentu. Adapun surat yang dimaksud ialah surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT), surat ketetapan pajak daerah (SKPD), dan surat ketetapan pajak daerah kurang bayar (SKPDKB).

Baca Juga:
9 Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Pemkot Tarakan beserta Tarifnya

Ada pula surat ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan (SKPDKBT), surat ketetapan pajak daerah lebih bayar (SKPDLB), surat ketetapan pajak daerah nihil (SKPDN), dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

Setidaknya terdapat tiga syarat dalam mengajukan keberatan pajak yang tertuang dalam Pasal 103 ayat (2) sampai dengan ayat (4). Pertama, keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

Kedua, keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama tiga bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan. Namun, jangka waktu tersebut dapat dikesampingkan apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur).

Baca Juga:
Rumah dengan NJOP hingga Rp120 Juta di Kota Ini Dibebaskan dari PBB

Ketiga, keberatan dapat diajukan apabila wajib pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak. Apabila pengajuan keberatan tidak memenuhi tiga persyaratan tersebut maka keberatan tidak dapat dipertimbangkan.

Selanjutnya, tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos, tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.

Dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, kepala daerah harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah lewat dan kepala daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. Keputusan keberatan tersebut dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.

Baca Juga:
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagai Batas Pengenaan PPh 21

Banding
MERUJUK Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan banding.

Dalam konteks pajak daerah, wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh kepala daerah sesuai dengan Pasal 105 ayat (1) UU PDRD. Dengan demikian, upaya hukum banding hanya dapat diajukan setelah melalui proses keberatan terlebih dahulu.

Mengacu pada Pasal 105 ayat (2) UU PDRD, permohonan banding diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas. Pengajuan dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak keputusan diterima dan dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut. Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding.

Baca Juga:
Keberatan soal Ketetapan PBB Ditolak, Pemohon Tak Dikenai Sanksi Denda

Lebih lanjut, sanksi dan imbalan bunga yang menjadi konsekuensi atas keputusan keberatan dan/atau banding diatur dalam Pasal 106 UU PDRD. Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan. Imbalan bunga tersebut dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.

Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50%. Denda dihitung dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Namun, jika wajib pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif sebesar 50% tersebut tidak dikenakan.

Sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dikenakan pada wajib pajak apabila permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian. Sanksi denda tersebut dihitung dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.*


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 31 Januari 2025 | 14:30 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Demi Kejar Pajak, Dinas ESDM Petakan Ulang Sumur Air Tanah di Daerah

Jumat, 31 Januari 2025 | 11:17 WIB PENGADILAN PAJAK

Persiapan Persidangan di Pengadilan Pajak yang Wajib Pajak Perlu Tahu

Jumat, 31 Januari 2025 | 08:30 WIB KOTA MEDAN

Kini Ada Opsen, Medan Mulai Aktif Tagih Pajak Kendaraan Bermotor

Kamis, 30 Januari 2025 | 16:00 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Dedi Mulyadi Ingin Pakai 100% Pajak Kendaraan untuk Pembangunan Jalan

BERITA PILIHAN
Jumat, 31 Januari 2025 | 19:30 WIB KONSULTASI PAJAK    

DJP Bisa Tentukan Nilai Harta Berwujud, Ini yang Perlu Diperhatikan

Jumat, 31 Januari 2025 | 19:00 WIB PMK 136/2024

Pajak Minimum Global Bagi WP CbCR Bisa Dinolkan, Begini Kriterianya

Jumat, 31 Januari 2025 | 17:15 WIB DDTC ACADEMY - INTENSIVE COURSE

Wah, Transaksi Intragrup Naik! Perlu Paham Transfer Pricing

Jumat, 31 Januari 2025 | 16:11 WIB CORETAX SYSTEM

Bermunculan Surat Teguran yang Tak Sesuai di Coretax? Jangan Khawatir!

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:47 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Banyak Tantangan, Insentif Fiskal Jadi Andalan untuk Jaga Pertumbuhan

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:31 WIB KEBIJAKAN PAJAK

WP Tax Holiday Terdampak Pajak Minimum Global, PPh Badan Turun Lagi?

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:11 WIB KEBIJAKAN INVESTASI

Supertax Deduction Kurang Laku, Ternyata Banyak Investor Tak Tahu

Jumat, 31 Januari 2025 | 14:30 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Demi Kejar Pajak, Dinas ESDM Petakan Ulang Sumur Air Tanah di Daerah

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:45 WIB PAJAK MINIMUM GLOBAL

Ada Pajak Minimum Global, RI Cari Cara Biar Insentif KEK Tetap Menarik

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:25 WIB TAX CENTER UNIVERSITAS ADVENT SURYA NUSANTARA

Gratis untuk Umum! Sosialisasi Soal Coretax, PPN 12%, dan SAK EMKM-EP