JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan akhirnya mempertegas adanya kewajiban bagi para wajib pajak yang menjadi pihak pemotong/pemungut pajak penghasilan (PPh) untuk menyerahkan bukti pemotongan dan/atau pemungutan kepada pihak yang dipotong/dipungut.
Hal ini dipertegas melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh, yang mulai berlaku sejak 7 Februari 2017. Keluarnya PMK 12/2017 ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain.
“Bahwa dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum dan kejelasan pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf a (Pasal 20 ayat (1) UU PPh), perlu mengatur ketentuan mengenai bukti pemotongan dan/atau pemotongan PPh,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam aturan tersebut.
Seperti diketahui, Pasal 20 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri.
Berdasarkan catatan DDTCNews, selama ini bentuk formulir bukti pemotongan/pemungutan PPh mengacu pada beberapa aturan seperti Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
Selain itu ada pula Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya.
Berbeda dengan kedua peraturan di atas, dalam PMK 12/2017 ini, pemerintah lebih menegaskan bahwa pemotong dan/atau pemotong pajak harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan PPh, dan kemudian harus memberikan bukti tersebut kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut, serta menyebutkan bukti pemotongan/pemungutan PPh secara umum, tidak spesifik ke jenis PPh tertentu.
Meski demikian, aturan PMK ini tidak menyebutkan adanya konsekuensi yang dapat diterima pemotong/pemungut pajak apabila tidak memenuhi keharusan untuk menyerahkan bukti potong-pungut tersebut kepada pihak yang berhak menerimanya.
Pada prinsipnya, bukti potong-pungut ini menjadi penting bagi wajib pajak. Pasalnya, PPh yang tercantum dalam bukti tersebut dapat menjadi kredit pajak bagi pihak yang dipotong/dipungut apabila penghasilan yang dikenakan pajak bersifat tidak final. Adapun, jika bersifat final, dokumen tersebut menjadi bukti pelunasan PPh.
“Bukti Pemotongan PPh dan/atau Bukti Pemungutan PPh dapat berbentuk formulir kertas (hardcopy) atau dokumen elektronik,” bunyi Pasal 4 aturan itu.
Adapun, terkait hal-hal teknis mengenai hal ini akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dirjen (Perdirjen) Pajak, antara lain mencakup bagaimana bentuk dan tata cara pembuatan bukti pemotongan dan/atau pemungutan PPh, serta dokumen lain yang kedudukannya dipersamakan dengan bukti tersebut.
Selain itu, sebagai ketentuan baru lainnya, PMK ini juga mengatur mengenai kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan bukti pemotongan dan/atau pemungutan PPh tersebut tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, sehingga dapat dilakukan pembetulan/pembatalan.
Kendati demikian, mengenai hal ini tidak dijelaskan lebih lanjut dalam PMK 12/2017. Kondisi-kondisi yang dimaksud, termasuk tata cara pembetulan/pembatalannya juga akan diatur lebih lanjut dalam Perdirjen Pajak. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.