KINERJA PERINDUSTRIAN

PMI Manufaktur Kontraksi Dalam, Belum Ada Kebijakan Signifikan K/L

Dian Kurniati | Senin, 02 September 2024 | 19:45 WIB
PMI Manufaktur Kontraksi Dalam, Belum Ada Kebijakan Signifikan K/L

Ilustrasi. Sejumlah pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di salah satu pabrik garmen di Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (15/1/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nz.

JAKARTA, DDTCNews - Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 tercatat di level 48,9 atau kembali mengalami kontraksi posisi bulan sebelumnya sebesar 49,3.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan kontraksi PMI manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 dipengaruhi oleh penurunan pada output dan permintaan baru yang tajam sejak Agustus 2021. Menurutnya, kontraksi PMI manufaktur yang lebih dalam tersebut tidak mengherankan karena belum ada kebijakan signifikan untuk mendorong kinerja industri.

"Penurunan nilai PMI manufaktur bulan Agustus 2024 terjadi akibat belum ada kebijakan signifikan dari kementerian/lembaga lain yang mampu meningkatkan kinerja industri manufaktur," katanya, Senin (2/9/2024).

Baca Juga:
Kejar Target Hilirisasi, RI Tak Boleh Bergantung Pembiayaan Asing

Agus mengatakan S&P Global juga menyebutkan terjadi pelemahan penjualan yang menyebabkan peningkatan stok barang jadi selama 2 bulan berjalan. Pelemahan penjualan ini antara lain dipengaruhi oleh masuknya barang impor murah dalam jumlah besar ke pasar dalam negeri, terutama sejak Mei 2024.

Barang impor murah ini dinilai membuat masyarakat lebih memilih produk-produk tersebut dengan alasan ekonomis. Kondisi tersebut juga dapat menyebabkan industri di dalam negeri semakin menurun penjualan produknya serta utilisasi mesin produksinya.

Sementara itu, juru bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif menambahkan para pelaku industri masih terus mengamati perkembangan penerapan aturan oleh pemerintah. Hal ini pun dapat berpengaruh pada perlambatan ekspansi pada subsektor industri.

Baca Juga:
Realisasi Investasi di KEK Sepanjang 2024 Capai Rp82,6 Triliun

Misal pada industri makanan dan minuman, para pelaku usaha nampak menahan diri seiring dengan rencana pemberlakuan cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).

Selain itu, kinerja industri manufaktur juga terdampak oleh ketidakjelasan isi data 26.415 kontainer dari Kemenkeu yang belum menemukan titik terang.

Dia menyebut Kemenperin sejauh ini belum dapat menyusun kebijakan atau langkah-langkah mengantisipasi produk jadi impor yang membanjiri pasar domestik. Adapun rapat untuk menyusun kebijakan agar PMI manufaktur kembali ekspansif masih dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian.

Baca Juga:
Aturan Permohonan Insentif PPh atas Investasi Padat Karya Direvisi

Sebagai upaya mendorong ekspansi industri manufaktur, Kemenperin akan terus mendorong percepatan perluasan harga gas bumi tertentu (HGBT) serta percepatan penerapan bea masuk antidumping (BMAD) khususnya untuk industri terdampak seperti keramik dan kertas.

Kemenperin juga mendorong percepatan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta percepatan pembatasan barang impor dan penegakan hukum atas impor ilegal.

Di sisi lain, Kemenperin akan mendorong kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga produk-produk tersebut dapat diserap di dalam negeri. Terlebih, dalam momentum penyelenggaraan Pilkada 2024.

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Berdampak ke Indeks Kepercayaan Industri

"Kami mengingatkan kepada lembaga penyelenggara Pilkada dan para kontestan Pilkada untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, terutama produk IKM dalam momentum Pilkada 2024 ini," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kontraksi PMI manufaktur disebabkan oleh penurunan permintaan dan produksi. Mengenai permintaan, faktornya antara lain gangguan rantai pasok global serta penurunan permintaan produk Indonesia seperti di AS dan China.

Sementara untuk permintaan di dalam negeri, pemerintah mewaspadai keberadaan barang-barang konsumsi impor yang menurunkan daya saing produk lokal. Dalam hal ini, pemerintah akan mengkaji langkah proteksi agar produk impor tidak membanjiri pasar. (sap)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 24 Januari 2025 | 18:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Masyarakat Nonpeserta BPJS Bisa Ikut Pemeriksaan Kesehatan Gratis

Senin, 20 Januari 2025 | 16:37 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kejar Target Hilirisasi, RI Tak Boleh Bergantung Pembiayaan Asing

Rabu, 08 Januari 2025 | 09:00 WIB KINERJA INVESTASI

Realisasi Investasi di KEK Sepanjang 2024 Capai Rp82,6 Triliun

Minggu, 05 Januari 2025 | 10:30 WIB PMK 81/2024

Aturan Permohonan Insentif PPh atas Investasi Padat Karya Direvisi

BERITA PILIHAN
Jumat, 24 Januari 2025 | 19:15 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sri Mulyani Targetkan Aturan Insentif Fiskal 2025 Rampung Bulan Ini

Jumat, 24 Januari 2025 | 19:00 WIB PMK 136/2024

Beban Pajak Minimum Global Bisa Ditekan dengan SBIE, Apa Itu?

Jumat, 24 Januari 2025 | 18:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pajak atas Biaya Overhead dari Luar Negeri

Jumat, 24 Januari 2025 | 18:10 WIB DDTC ACADEMY - INTENSIVE COURSE

Dibuka! Batch Terbaru Pelatihan Intensif Transfer Pricing DDTC Academy

Jumat, 24 Januari 2025 | 18:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Masyarakat Nonpeserta BPJS Bisa Ikut Pemeriksaan Kesehatan Gratis

Jumat, 24 Januari 2025 | 17:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sri Mulyani: Pajak Minimum Global Bikin Iklim Investasi Lebih Sehat

Jumat, 24 Januari 2025 | 15:30 WIB PROFIL PERPAJAKAN KONGO

Seputar Aturan Perpajakan Kongo, PPN-nya Pakai Skema Multi-Tarif

Jumat, 24 Januari 2025 | 14:30 WIB AMERIKA SERIKAT

Hadiri Acara WEF, Trump Tawarkan Tarif Pajak 15 Persen untuk Investor