PENEGAKAN HUKUM

PK ke MA Sudah Terlalu Banyak, Waktunya Indonesia Adopsi Sistem Baru

Muhamad Wildan | Senin, 10 Juli 2023 | 18:07 WIB
PK ke MA Sudah Terlalu Banyak, Waktunya Indonesia Adopsi Sistem Baru

Binziad Kadafi dalam peluncuran buku Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan.

JAKARTA, DDTCNews - Buku karya Binziad Kadafi yang bertajuk Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan terbitan KPG diluncurkan pada hari ini, Senin (10/7/2023).

Dalam buku ini, Kadafi menawarkan fondasi baru mengenai sistem peninjauan kembali (PK) di Indonesia.

"Buku ini menegaskan fungsi PK untuk menjaga finalitas putusan, tidak hanya mengoreksi kesalahan. Untuk itu, buku ini menjembatani PK dengan ne bis in idem," ujar Kadafi.

Baca Juga:
WP OP Lebih Bayar Rp100 Juta, Restitusi akan Dipercepat Sesuai PMK 119

Kadafi menerangkan PK seyogianya adalah upaya hukum luar biasa untuk memeriksa ulang perbuatan pidana yang sudah diputus dengan putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, alasan dari PK seharusnya luar biasa pula.

Namun, karakter luar biasa ini tidak tercermin pada kenyataan di lapangan. Faktanya, MA justru selalu kebanjiran perkara PK.

"Pada 2022 saja ada 9.519 permohonan PK yang masuk MA. 64% di antaranya memang perkara pajak, tetapi dari 3.400-an PK nonpajak yang masuk ke MA bila dibandingkan dengan 2021 peningkatannya sampai 66,5%. Pada pidana, rata-rata jumlah PK dalam 9 tahun terakhir mencapai 565 per tahun," ujar Kadafi.

Baca Juga:
Jadi Kontributor Pajak Terbesar, Manufaktur Diklaim Pulih Merata

Adapun jumlah PK pajak pada 2022 tercatat bertumbuh sebesar 80,85% bila dibandingkan dengan jumlah PK pajak pada tahun sebelumnya.

Bukannya berbeda dengan upaya hukum lainnya, PK seringkali hanya menjadi upaya hukum ketiga setelah kasasi. Adapun alasan PK yang paling banyak diajukan adalah kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.

"Belakangan PK dijadikan pengganti banding biasa. Strategi ini banyak dipilih karena KUHAP menjamin putusan PK harus lebih ringan atau minimal sama sanksinya dibandingkan dengan putusan awal yang dimintakan PK," ujar Kadafi.

Baca Juga:
Persiapan Persidangan di Pengadilan Pajak yang Wajib Pajak Perlu Tahu

Banyak terpidana yang tidak memilih untuk mengajukan banding dan kasasi, justru malah meng-inkracht-kan putusan di tingkat pertama agar bisa langsung diajukan PK.

Akibat tingginya arus PK ke MA, makin banyak putusan PK yang bermasalah. "Soal syarat materiil, ada yang menerapkan novum secara ketat, ada yang menerapkan secara longgar. Ada yang menafsirkan putusan saling bertentangan secara longgar, ada yang secara ketat," ujar Kadafi.

Guna memberikan fondasi baru dalam sistem PK, Kadafi berargumen alasan materiil dari PK harus terdiri dari novum, putusan yang saling bertentangan, falsum, dan pernyataan terbukti tanpa kesalahan. Menurut Kadafi, alasan-alasan inilah yang sesuai dengan asas ne bis in idem.

Baca Juga:
DPR Dukung Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga oleh Prabowo

"Kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata sebaiknya dihapus dari alasan PK, karena dia hanya melibatkan soal question of law dan sama sekali tidak menyentuh soal fakta atau question of fact," ujar Kadafi.

Melalui bukunya, Kadafi juga menawarkan opsi bagi negara untuk memohonkan PK atas putusan yang merugikan berdasarkan alasan materiil baru, yakni falsum. Contoh terjadinya falsum adalah ketika hakim atau aparat penegak hukum menerima suap.

Merujuk pada praktik di Belanda, negara dalam hal ini diwakili oleh Procureur Generaal. Adapun Procureur Generaal adalah lembaga khusus di bawah mahkamah agung Belanda yang dalam kerjanya melibatkan banyak lembaga lain.

Baca Juga:
AS Buka Opsi Batalkan Bea Masuk 25% Atas Impor dari Kanada dan Meksiko

Kadafi juga mengusulkan agar PK diajukan ke MA dan bila PK diterima maka permohonan PK tersebut akan diajukan kepada judex facti.

Pemeriksaan PK secara materiil dan substantif akan dilakukan oleh judex facti, yakni pengadilan tinggi yang terdekat dari locus delicti. "Tujuannya adalah agar bisa dilakukan pemeriksaan faktual dengan hukum acara yang berlaku mutatis mutandis," ujar Kadafi.

Akhirnya, pengadilan tinggi tersebut yang nantinya memutuskan apakah PK dikabulkan atau ditolak serta menyediakan ganti rugi bagi terpidana atau korban. (sap)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 01 Februari 2025 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jadi Kontributor Pajak Terbesar, Manufaktur Diklaim Pulih Merata

Jumat, 31 Januari 2025 | 19:00 WIB PMK 136/2024

Pajak Minimum Global Bagi WP CbCR Bisa Dinolkan, Begini Kriterianya

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:25 WIB TAX CENTER UNIVERSITAS ADVENT SURYA NUSANTARA

Gratis untuk Umum! Sosialisasi Soal Coretax, PPN 12%, dan SAK EMKM-EP

BERITA PILIHAN
Sabtu, 01 Februari 2025 | 14:30 WIB PILKADA 2024

Prabowo Ingin Kepala Daerah Hasil Pilkada 2024 segera Dilantik

Sabtu, 01 Februari 2025 | 13:30 WIB LAYANAN KEPABEANAN

Pengumuman bagi Eksportir-Importir! Layanan Telepon LNSW Tak Lagi 24/7

Sabtu, 01 Februari 2025 | 13:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa PPh Pasal 23 Akibat Transaksi Pinjaman Tanpa Bunga

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:45 WIB BERITA PAJAK SEPEKAN

Tenang! Surat Teguran ‘Gaib’ karena Coretax Eror Bisa Dibatalkan DJP

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Hal-Hal yang Diteliti DJP terkait Pengajuan Pengembalian Pendahuluan

Sabtu, 01 Februari 2025 | 12:00 WIB CORETAX SYSTEM

DJP Terbitkan Panduan Coretax terkait PIC, Impersonate dan Role Akses

Sabtu, 01 Februari 2025 | 09:45 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Simak! Ini Daftar Peraturan Perpajakan yang Terbit 1 Bulan Terakhir

Sabtu, 01 Februari 2025 | 09:00 WIB KEBIJAKAN EKONOMI

Jaga Inflasi pada Kisaran 2,5 Persen, Pemerintah Beberkan Strateginya