PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA

Peserta TA Punya Harta Belum Dilaporkan, Ini Konsekuensi Tak Ikut PPS

Dian Kurniati | Jumat, 28 Januari 2022 | 15:01 WIB
Peserta TA Punya Harta Belum Dilaporkan, Ini Konsekuensi Tak Ikut PPS

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengimbau peserta tax amnesty kembali mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS) jika masih memiliki harta yang belum diungkapkan.

Fungsional Penyuluh Ahli Madya DJP Arif Yunianto mengatakan keikutsertaan dalam program PPS dapat menghindarkan peserta tax amnesty dari sanksi atas harta yang belum dilaporkan. Pasalnya, UU Pengampunan Pajak mengatur ancaman sanksi sebesar 200% jika peserta tax amnesty ternyata masih memiliki aset yang belum diungkapkan.

"Memang besar sekali karena ini konsekuensi [tidak melaporkan harta dengan benar]," katanya dalam program Tax Live DJP, dikutip Jumat (28/1/2022).

Baca Juga:
Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Arif mengatakan wajib pajak peserta tax amnesty dapat mengikuti kebijakan 1 PPS. Skema PPS tersebut berlaku untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty dengan basis aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan.

Dia kemudian memberikan ilustrasi tentang wajib pajak peserta tax amnesty yang masih memiliki harta berupa tabungan senilai Rp2 miliar pada 2013 tetapi belum dilaporkan. Pada wajib pajak tersebut, dapat memilih opsi antara mengikuti PPS dengan hanya mendeklarasikan harta dan sekalian diinvestasikan pada surat berharga negara (SBN) atau untuk hilirisasi sumber daya alam/energi terbarukan.

Jika wajib pajak tersebut memilih hanya mendeklarasikan harta di dalam negeri, akan dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) final sebesar 8% atau senilai Rp160 juta.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Arif menyebut potensi kerugian yang dialami wajib pajak tersebut akan lebih besar jika memutuskan tidak mengikuti PPS. Alasannya, ketika harta peserta tax amnesty tersebut diketahui DJP, sanksi yang dikenakan akan jauh di atas tarif PPh final pada PPS.

Pada wajib pajak tersebut, DJP akan mengenakannya tarif PPh final sebesar 30% atau senilai Rp600 juta. Selain itu, wajib pajak juga akan dikenakan sanksi sebesar 200% dari Rp600 juta tersebut, sehingga nilainya Rp1,2 miliar.

Dari penghitungan itu, besaran PPh final dan sanksi yang harus dibayarkan wajib pajak akan mencapai Rp1,8 miliar.

Baca Juga:
Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

"Ini gambarannya, kalau ikut PPS [membayar PPh final] Rp160 juta, dan kalau tidak ikut lebih besar lagi, sampai Rp1,8 miliar," ujarnya.

Arif menambahkan kemungkinan DJP menemukan harta yang tidak dilaporkan sudah semakin besar. Hal itu terjadi karena saat ini DJP dapat memanfaatkan data dari skema automatic exchange of information (AEoI), memiliki akses informasi tidak terbatas dari seluruh sektor keuangan, serta menjalin kerja sama global untuk penagihan.

Apalagi, semua proses transaksi dilakukan secara nontunai sehingga akan mempermudah DJP untuk menelusurinya.

Baca Juga:
DJP Klaim Insentif Pajak 2025 Sudah Akomodir Rumah Tangga dan UMKM

"Maka hampir pasti, dengan kondisi saat ini, besar kemungkinan DJP akan mengetahuinya," ujarnya.

Pemerintah menyelenggarakan PPS berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) selama 6 bulan, mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022. PPS dapat diikuti wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty dengan basis aset per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan.

Selain itu, program tersebut juga dapat diikuti wajib pajak orang pribadi yang belum mengikuti tax amnesty dengan basis aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan 2020.

Nantinya, peserta PPS akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) final yang tarifnya berbeda-beda tergantung pada perlakuan wajib pajak terhadap harta yang diungkapkan. (sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:00 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tahap Pra-Implementasi Aplikasi Coretax, DJP Imbau WP Soal Ini

Minggu, 22 Desember 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tegaskan Threshold PPh Final UMKM dan PKP Tetap Rp4,8 Miliar

BERITA PILIHAN
Sabtu, 28 Desember 2024 | 09:30 WIB KILAS BALIK 2024

Mei 2024: Fitur e-Bupot Diperbarui, Insentif Perpajakan di IKN Dirilis

Sabtu, 28 Desember 2024 | 09:00 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

DJP Sampaikan 491 Laporan Gratifikasi di 2023, Nilainya Rp691,8 Miliar

Sabtu, 28 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

DJBC Kembangkan Aplikasi CEISALite, Hanya Aktif Jika Hal Ini Terjadi

Sabtu, 28 Desember 2024 | 07:30 WIB TIPS PAJAK

Cara Login Aplikasi Coretax DJP

Jumat, 27 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

NIB Pelaku Usaha Bisa Berlaku Jadi ‘Kunci’ Akses Kepabeanan, Apa Itu?

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:30 WIB KANWIL DJP JAKARTA SELATAN I

Tak Setor PPN Rp679 Juta, Direktur Perusahaan Dijemput Paksa

Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target