SALAH satu biaya yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah biaya penyusutan dan amortisasi. Wajib pajak badan dapat menghitung penyusutan berdasarkan standar akuntansi komersial. Namun, dalam hal pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan, wajib pajak badan harus membuat penyusutan fiskal.
Apabila terdapat selisih antara jumlah penyusutan fiskal dengan penyusutan komersial, maka perlu dilakukan rekonsiliasi fiskal. Untuk itu, penting bagi wajib pajak badan untuk memahami konsep dan metode penyusutan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Konsep Penyusutan dan Amortisasi
Secara konsep, penyusutan adalah alokasi biaya perolehan suatu aktiva tetap (kecuali tanah) selama masa manfaat tertentu sesuai dengan kelompok harta. Penyusutan fiskal diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan (PPh). Sedangkan amortisasi adalah alokasi perolehan harta tidak berwujud selama masa manfaat tertentu. Ketentuan mengenai amortisasi diatur dalam Pasal 11A UU PPh.
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Sementara amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran. Baik penyusutan maupun amortisasi, berakhir pada saat masa manfaatnya habis.
Masa manfaat aktiva tetap sesuai dengan kelompok aktiva tetap yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Dalam UU PPh, metode penyusutan hanya ada dua, yaitu garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (double declining balanced method). Khusus untuk aktiva bangunan, wajib pajak hanya boleh menggunakan metode garis lurus.
Dalam metode garis lurus, penyusutan dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Sedangkan dalam metode saldo menurun, penyusutan dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.
Tarif Penyusutan dan Amortisasi
UU PPh juga mengatur besaran tarif yang berlaku untuk penyusutan dan amortitasi tergantung dari kelompok aktiva.
Tabel 1 - Tarif Penyusutan
Tabel 2 - Tarif Amortisasi
Jika terjadi pengalihan aktiva atau kejadian luar biasa, seperti kebakaran atau banjir, maka aktiva tersebut disusutkan sekaligus. Artinya, nilai buku yang ada langsung dibiayakan. Sebaliknya, jika aktiva itu dijual maka harga jualnya merupakan penghasilan bagi wajib pajak. Selain itu, apabila wajib pajak mendapat penggantian asuransi kerugian maka penggantian asuransi tersebut juga merupakan penghasilan.
Pengelompokan Aktiva Berwujud Bukan Bangunan
Untuk menghitung penyusutan fiskal, setiap aktiva tetap harus dikelompokkan. Hal ini diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan Penyusutan.
Wajib pajak badan perlu memperhatikan kelompok harta berdasarkan PMK tersebut agar tidak terjadi koreksi positif penyusutan apabila dilakukan pemeriksaan oleh otoritas pajak. Terdapat panduan tabel kelompok harta untuk mengetahui posisi aset. Baru setelah itu, wajib pajak dapat menghitung besarnya penyusutan dengan tarif sesuai ketentuan.
Penghitungan penyusutan dihitung berdasarkan bulan per bulan. Dalam ketentuan, satu hari dihitung seperti satu bulan. Misalnya, wajib pajak membeli kendaraan roda empat pada 30 Juni 2019, maka sejak bulan Juni sudah dihitung penyusutannya. Dengan demikian, pada tahun pembelian kendaraan tersebut, jumlah bulan penyusutannya dihitung selama 7 bulan, yaitu Juni-Desember 2019.
Berikut tabel kelompok aktiva tetap berdasarkan PMK 96/2009:
Tabel 3 - Jenis-Jenis Harta Berwujud yang Termasuk dalam Kelompok 1
Tabel 4 - Jenis-Jenis Harta Berwujud yang Termasuk dalam Kelompok 2
Tabel 5 - Jenis-Jenis Harta Berwujud yang Termasuk dalam Kelompok 3
Tabel 6 - Jenis-Jenis Harta Berwujud yang Termasuk dalam Kelompok 4
Apabila aktiva berwujud yang dimiliki wajib pajak tidak masuk ke dalam salah satu jenis kelompok harta di atas, menurut PMK 96/2009 aktiva tersebut harus dimasukkan ke dalam kelompok 3. Jika tidak sesuai, wajib pajak dapat memperoleh penetapan masa manfaat atas jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya.
Untuk memperoleh penetapan tersebut, wajib pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan. Dalam hal permohonan ditolak, wajib pajak menggunakan masa manfaat jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai kelompok 3.
Amortisasi Harta Tidak Berwujud
Secara fiskal beban amortisasi yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 11 A UU PPh dan menggunakan metode amortisasi secara taat azaz atau konsisten.
Amortisasi merupakan pengalokasian biaya perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan muhibah (goodwill) yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Dalam konsep ini, menurut ketentuan perpajakan atas pembelian harta tak berwujud yang masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dapat dibebankan sekaligus. Jika perusahaan membebankan pembelian harta tak berwujud tersebut di laporan rugi laba maka akan dilakukan koreksi fiskal dalam melakukan pengitungan PPh badan.
Penyusutan dan Amortisasi dalam Bidang Usaha Tertentu
Penyusutan atas aktiva berwujud dan amortisasi atas harta tak berwujud dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dalam PMK No. PMK No. 248/PMK.03/2008, PMK No. 249/PMK.03/2008 dan PMK No.126/PMK.011/2012. Bidang usaha tertentu tersebut, yaitu:
Penyusutan dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi komersial. Yang dimaksud dengan bulan produksi komersial yaitu bulan di mana penjualan mulai dilakukan.
Penyusutan Perangkat Lunak (Software) Komputer
Perangkat lunak (software) komputer adalah semua program yang dapat digunakan pada sistem operasi komputer. Program aplikasi umum adalah program yang dapat dipergunakan oleh pengguna (users) umum untuk memproses berbagai pekerjaan melalui komputer.
Program aplikasi khusus adalah program yang dirancang khusus untuk keperluan otomatisasi sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti di bidang perbankan, pasar modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan. Pembebanan perangkat lunak terbagi dua, yaitu dibiayakan langsung 100% pada bulan pembelian atau diamortisasi sepanjang masa manfaat.
Pembelian program aplikasi umum dapat dibiayakan langsung pada bulan pembelian dan tidak disusutkan. Perangkat lunak komputer berupa program aplikasi umum diperlakukan sebagai pengeluaran atau biaya operasional rutin. Tetapi jika program aplikasi umum tersebut dibeli bersamaan dengan pembelian perangkat keras, maka pembelian tersebut termasuk harga perangkat keras dan disusutkan sebagai kelompok I bersama perangkat keras.
Sedangkan program aplikasi khusus diamortisasi sepanjang masa manfaat, termasuk pengeluaran untuk upgrade aplikasi khusus. Ketentuan tentang penyusutan software diatur ddalam KEP-316/PJ./2002.
Penyusutan Kendaraan Milik Perusahaan dan Telepon Seluler
Berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-220/PJ/2002, pengeluaran terkait sedan hanya boleh dibiayakan sebesar 50%. Pengeluaran tersebut termasuk biaya penyusutan, pemeliharaan, dan pengeluaran rutin untuk bahan bakar. Sementara atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan,
Dalam ketentuan yang sama, KEP-220/PJ./2002 juga diatur perlakuan atas pengeluaran telepon seluler. Biaya terkait dengan telepon seluler yang dimiliki oleh perusahaan hanya boleh dibiayakan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan atau pembelian, termasuk biaya perolehan perangkat keras handphone dan pulsa.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.