SETELAH memahami tarif PPh Pasal 25 dan tata cara pembayaran maupun laporannya, perlu diketahui bahwa ketentuan penghitungan PPh Pasal 25 juga dapat berbeda dari penghitungan secara umum. Perbedaan penghitungan itu tergantung dari kondisi-kondisi yang dihadapi wajib pajak. Berikut penjelasannya:
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan bagi wajib pajak orang pribadi adalah akhir tahun bulan ketiga tahun pajak berikutnya dan bagi wajib pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya anggsuran yang harus dibayar untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh adalah sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.
Apabila dalam tahun pajak berjalan wajib pajak menerima SKP untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak akan dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut. Nilai PPh Pasal 25 yang baru akan mulai berlaku pada bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan SPT, SKP, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 (UU PPh).
Apabila wajib pajak badan memiliki kompensasi kerugian fiskal, yang timbul pada tahun pajak sebelumnya, maka kerugian fiskal tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto pada tahun pajak berikutnya sampai dengan 5 tahun. Dengan demikian penghitungan PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang berhak atas kompensasi kerugian tersebut adalah sebagai berikut:
{(Penghasilan Neto menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - Kompensasi Kerugian) x Tarif Pasal 17 UU PPh} - PPh Pasal 22,23,24/(12 bulan)
Suatu perusahaan umumnya menerima penghasilan yang bersifat teratur dan tidak teratur. Penghasilan teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.
Penghasilan tidak teratur ini dapat dipotong/dipungut pajak oleh pihak yang memberikan penghasilan. Terkait dengan penghasilan teratur dan tidak teratur, maka besarnya PPh Pasal 25 bagi wajib pajak yang memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebagai berikut:
{(Penghasilan Neto menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - Penghasilan Tidak Teratur) x Tarif Pasal 17 UU PPh} - PPh Pasal 22,23,24)/(12 bulan)
Dalam kondisi tertentu, misalnya audit laporan keuangan perusahaan belum selesai dilakukan, atau belum tersedianya dana untuk membayar pajak yang terutang, sehingga perusahaan menyampaikan SPT Tahunan PPh setelah jatuh tempo yang telah ditetapkan. Bila kondisi tersebut dialami oleh wajib pajak badan, maka nilai angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayarkan setiap bulannya adalah sebagai berikut:
((PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - PPh Pasal 22,23,24))/(12 bulan)
Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi yang terjadi atas PPh Pasal 25, yaitu:
Dalam kondisi tertentu wajib pajak badan dapat saja mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. Apabila hal tersebut dilakukan oleh wajib pajak, maka berikut ini merupakan ketentuan dalam menghitung besarnya nilai PPh Pasal 25.
((PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh Tahun Pajak Lalu - PPh Pasal 22,23,24))/(12 bulan)
Atas kondisi tersebut, terdapat dua konsekuensi yang terjadi atas PPh Pasal 25, yaitu:
Dalam hal wajib pajak dalam tahun berjalan membetulkan sendiri SPT PPh Tahun pajak lalu, maka besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan Pembetulan dan akan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan tersebut. Atas pembetulan SPT Tahunan yang dilakukan terdapat dua konsekuensi yang terjadi atas PPh Pasal 25, yaitu:
Perubahan keadaan kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh wajib pajak, merupakan hal yang wajar. Di mana tidak jarang wajib pajak dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu yang dapat secara drastis meningkatkan laba ataupun sebaliknya. Perubahan penghasilan yang diterima/diperoleh wajib pajak akan mempengaruhi kewajiban PPh Pasal 25.
Jika dalam tahun pajak berjalan terjadi penurunan omzet, maka wajib pajak badan dapat mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25. Namun jika kondisi yang terjadi adalah laba wajib pajak dalam tahun pajak berjalan bertambah besar, maka besarnya nilai PPh Pasal 25 dapat dihitung kembali.
Apabila wajib pajak mengalami penurunan pendapatan dan ingin mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25, maka berikut adalah ketentuan yang perlu diketahui:
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jika dalam tahun pajak berjalan wajib pajak mengalami peningkatan usaha, dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari dasar penghitungan PPh Pasal 25, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak tersebut harus dihitung kembali oleh wajib pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di mana wajib pajak terdaftar.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.