Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pengaturan ulang sanksi administrasi dan imbalan bunga dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) masih menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (9/10/2020).
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan penggunaan patokan suku bunga acuan pada mayoritas skema sanksi administrasi dan imbalan bunga dimaksudkan untuk mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak.
“Kami ingin mendorong kepatuhan wajib pajak secara sukarela. Kami mengatur ulang sanksi administrasi pajak dan imbalan bunga supaya sesuai dengan bunga yang ada saat ini plus denda,” jelasnya.
Salah satu skema sanksi administrasi yang diubah adalah sanksi berupa bunga atas pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak. Awalnya, sanksi administrasi berupa bunga dipatok 2% per bulan.
Dalam perubahan UU KUP di UU Cipta Kerja, sanksi bunga tersebut dipatok sebesar tarif bunga per bulan dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% dan dibagi 12. Sanksi dikenakan paling lama 24 bulan. Simak artikel ulasan mengenai sanksi administrasi di sini.
Salah satu perubahan skema imbalan bunga adalah pada saat Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) terlambat diterbitkan. Imbalan bunga menggunakan tarif per bulan yang dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12. Pemberian imbalan bunga paling lama 24 bulan. Ulasan mengenai imbalan bunga dapat dilihat di sini.
Selain mengenai pengaturan skema sanksi administrasi dan imbalan bunga, ada pula bahasan tentang hasil survei Ditjen Pajak (DJP) terhadap 12.822 wajib pajak pada periode 21 Juli—7 Agustus 2020. Survei yang dilakukan terkait dengan kebijakan stimulus atau insentif pajak pada masa pandemi.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan pengaturan ulang sanksi administrasi dan imbalan bunga dalam UU KUP juga akan lebih mencerminkan aspek keadilan, baik bagi wajib pajak maupun otoritas pajak.
“Lebih mencerminkan aspek keadilan dari situasi yang terus berubah. Jadi [sanksi administrasi dan imbalan bunga] tidak bersifat nominal tetap sepanjang masa,” imbuh Sri Mulyani. (DDTCNews/Kontan)
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan perubahan rezim fixed rate menjadi flexible rate membuat skema sanksi administrasi pajak lebih ideal. Hal ini dikarenakan pergerakan besaran sanksi akan mengikuti suku bunga acuan pasar.
Menurut Bawono, adanya skema flexible rate akan lebih proporsional. Pasalnya, sanksi yang terlalu tinggi dan tidak proporsional cenderung mendorong ketidakmauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam sistem pajak.
“Dengan adanya sanksi administrasi yang lebih fleksibel dan bersifat proporsional, akan tercipta suatu kepatuhan secara sukarela,” katanya. (Kontan)
Hasil survei DJP menunjukan sebanyak 73% responden mengetahui ada kebijakan insentif pajak. Sebagian besar atau sekitar 65% dari jumlah tersebut melakukan pendaftaran atau dalam proses mendaftar untuk memanfaatkan insentif. Sisanya, tidak memanfaatkan.
Adapun 31% responden yang tidak memanfaatkan insentif menilai program tersebut belum prioritas. Kemudian, 30% responden mengaku tidak memiliki informasi yang cukup terkait kebijakan insentif. Sebanyak 19% responden menyebut prosedur pemanfaatan insentif sulit dipahami.
Sebanyak 9% responden menilai petunjuk teknis (Juknis) program insentif sulit dipahami. Sisanya, sebanyak 8% responden menyatakan tidak butuh stimulus sehingga tidak mendaftar. (DDTCNews)
Staf Ahli Menkeu Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan berdasarkan hasil survei DJP, 6.107 responden memanfaatkan insentif pajak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 84% responden sudah melaporkan realisasi insentif. Sisanya, 16% responden belum menyampaikan laporan.
Nufransa menjelaskan dua alasan utama WP belum melaporkan realisasi insentif. Pertama, WP yang mendaftar untuk mendapatkan fasilitas tidak tahu adanya kewajiban untuk melakukan pelaporan. Kedua, WP tidak tahu bagaimana cara melakukan realisasi insentif pajak yang seluruhnya dilakukan secara daring. (DDTCNews)
Pemerintah ingin menarik dana masuk ke dalam negeri untuk aktivitas yang produktif. Hal ini menjadi alasan dikecualikannya dividen dari objek pajak penghasilan (PPh) jika diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Ketentuan ini merupakan bagian dari revisi UU PPh yang masuk dalam UU Cipta Kerja.
“Asal [dividen tersebut] untuk investasi atau menanamkan modal ya bebas pajak. Apabila tidak atau dia [dividen] menganggur, dia kena pajak. Itu tujuannya supaya kita bisa mendorong dana-dana bisa menjadi lebih produktif,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Simak artikel ‘Ini Penjelasan Sri Mulyani Soal Dikecualikan Dividen dari Objek PPh’. (DDTCNews)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemajakan atas ekonomi digital harus dilakukan segera karena selama ini pelaku usaha digital luar negeri mendapatkan penghasilan yang signifikan dari Indonesia, tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Ketentuan pemajakan ekonomi digital masuk dalam UU 2/2020 agar tidak menciptakan celah penghindaran pajak.
"Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia, apalagi di tengah kejadian Covid di mana hampir semua kegiatan melalui elektonik, akan terjadi kekosongan hukum yang menjadi loophole untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menghilangkan potensi penerimaan pajak negara," jelasnya dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.