Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menunggu rampungnya proses legislasi omnibus law perpajakan untuk mengoptimalkan pemungutan pajak pelaku e-commerce. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (4/12/2019).
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan potensi pajak dalam aktivitas e-commerce sangat besar. Apalagi, Bank Indonesia memproyeksi total transaksi e-commerce hingga akhir tahun ini bisa mencapai lebih dari Rp215 triliun. Sekitar 80% transaksi ini berasal dari 4 marketplace di Indonesia.
Kendati demikian, potensi pajak dari transaksi tersebut belum dapat diambil secara optimal. Setelah dicabutnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210/PMK.010/2018, saat ini otoritas menunggu omnibus law perpajakan selesai.
“Harapannya bisa seperti skema over the top (OTT) lain yang melakukan pemungutan PPN,” katanya.
Dalam omnibus law perpajakan, pemerintah akan memasukkan kewajiban perusahaan digital (pemilik marketplace) untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN. Selain itu, dari sisi PPh, pemerintah juga akan meredefinisi bentuk usaha tetap (BUT).
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti proses pematangan omnibus law perpajakan. Pasalnya, hari ini, DJP mengundang beberapa lapisan masyarakat, tidak terkecuali pengusaha dam pengamat perpajakan, untuk memberi masukan dalam public hearing rancangan payung hukum ini.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Selama dua bulan terakhir, Dirjen Pajak telah melakukan uji coba pembayaran pajak melalui beberapa marketplace seperti Tokopedia, Bukalapak, dan Finnet Indonesia. Hasilnya, mayoritas pembayaran berasal dari wajib pajak kelompok UMKM.
Seperti diketahui, sebanyak 900 jenis penerimaan negara bisa dilayani melalui saluran marketplace tersebut. Seluruh pos penerimaan negara ini dikategorikan menjadi tiga yaitu pajak online, bea cukai, dan penerimaan negara buka pajak (PNBP).
Managing Partner DDTC Darussalam berpendapat pemerintah sejatinya hanya perlu mengharuskan para pelaku usaha di ranah ekonomi digital ini patuh terhadap kewajiban perpajakannya. Hal ini perlu dilakukan dengan terobosan administrasi pajak.
“Misal, adanya kewajiban memberikan data transaksi secara detail kepada otoritas,” tuturnya.
Khusus marketplace dari luar negeri, menurut Darussalam, ada baiknya pemerintah mewajibkan perusahaan yang bersangkutan agar terdaftar sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Hal ini penting agar perusahaan bisa sebagai pemungut dan penyetor PPN.
Untuk PPh, perlu ada terobosan yang lebih khusus. Saat ini tengah berlangsung pembahasan untuk mencapai konsensus global pemajakan ekonomi digital. Proposal yang disampaikan sejauh ini cenderung berpihak pada negara pasar seperti Indonesia. Namun, alternatif kebijakan tetap harus dipikirkan untuk mengantisipasi jika konsensus global tidak dapat terwujud.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama masih belum bisa memastikan kapan draf omnibus law ini selesai dan bisa dibawa ke DPR. Hingga saat ini, prosesnya terus berjalan.
“Kami harapkan sesuai rencana penyerahan, sebelum reses sudah disampaikan ke DPR,” kata Hestu.
Ketua Budang Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyapratama berpendapat seluruh aspek yang akan dimasukkan dalam omnibus law perpajakan sudah cukup baik. Hal tersebut sesuai untuk merespons harapan pengusaha.
Kendati demikian, Siddhi kembali mengingatkan relaksasi kebijakan perpajakan bukan merupakan faktor utama untuk menarik investasi ke Tanah Air. Ada berbagai persoalan nonpajak yang harus tetap diperhatikan karena menjadi sorotan investor. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.