Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Beberapa kebijakan menjadi tantangan dalam upaya optimalisasi pendapatan negara, terutama penerimaan pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (19/8/2022).
Sesuai dengan penjelasan pemerintah dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2023, program dan implementasi kebijakan yang dicanangkan pemerintah juga berisiko menjadi tantangan dalam optimalisasi penerimaan pajak.
“Risiko pelaksanaan kebijakan pendapatan negara diperkirakan memiliki dampak kecil dengan likelihood tinggi, yang disebabkan ketidakpastian kondisi perekonomian global termasuk harga komoditas,” tulis pemerintah dalam dokumen tersebut.
Pemerintah menyatakan akan tetap responsif dan antisipatif terhadap dinamika tersebut. Selain itu, pemerintah juga berupaya menjaga efektivitas implementasi Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk optimalisasi pendapatan negara.
Dalam RAPBN 2023, pemerintah mengusulkan target penerimaan pajak senilai Rp1.715.1 triliun, naik 6,7% dibandingkan dengan outlook tahun ini Rp1.608,1 triliun. Simak ‘Pastikan Pajak Nonmigas 2023 Tetap Naik, Sri Mulyani Ungkap Langkahnya’.
Selain tantangan yang berasal dari kebijakan pemerintah untuk optimalisasi penerimaan pajak, ada pula bahasan terkait dengan kebijakan cukai. Kemudian, ada bahasan terkait dengan instruksi presiden untuk mempercepat belanja APBD.
Sesuai dengan penjelasan dalam Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2023, setidaknya ada 5 tantangan dalam optimalisasi penerimaan pajak yang berasal dari program dan implementasi kebijakan yang dicanangkan pemerintah.
Pertama, pilihan kebijakan pemberian insentif dan fasilitas yang berdampak pada penurunan potensi penerimaan pajak dalam bentuk tax expenditure sebagai upaya meningkatkan daya saing dan iklim usaha. Besarannya cukup tinggi tiap tahun sekitar 1,5% dari produk domestik bruto (PDB).
Pemerintah menegaskan akan selalu berupaya secara cermat dalam pemberian insentif dan fasilitas tersebut secara terarah dan terukur. Pemerintah akan tetap menjaga efektivitas dan mengarahkan insentif pada kegiatan ekonomi strategis yang menghasilkan multiplier effect besar.
Kedua, faktor kebijakan ekonomi secara makro dari pemerintah juga memiliki andil dalam memengaruhi penerimaan pajak. Sebagai contoh pada masa pandemi, pemerintah menggunakan kebijakan countercyclical dengan meningkatkan pengeluaran serta memberikan insentif.
Sebagai contoh, melalui PP 91/2021, pemerintah memotong tarif pajak penghasilan (PPh) atas bunga obligasi menjadi 10% dalam rangka mendorong pengembangan dan pendalaman pasar obligasi.
Ketiga, UU HPP yang diundangkan sejak 2021 masih memberikan tantangan dalam implementasi. Tidak berulangnya penerimaan yang diakibatkan pelaksanaan program pengungkapan sukarela (PPS) pada tahun 2023 juga perlu dicermati.
Pemerintah juga berharap tindak lanjut pemanfaatan data yang diperoleh dari PPS dan implementasi NIK sebagai NPWP dapat dioptimalkan untuk mendukung perluasan basis pemajakan. Risiko fiskal yang timbul dari kebijakan ini adalah implementasi dan pengoptimalan data yang didapatkan dari program-program tersebut.
Pemanfaatan data digunakan untuk menunjang kegiatan ekstensifikasi, pengawasan yang lebih terarah, dan penggalian potensi terhadap wajib pajak yang belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Selain itu, resistensi sebagian masyarakat terhadap implementasi NIK sebagai NPWP serta koordinasi dengan instansi terkait harus diantisipasi. Dengan perluasan basis pemajakan, kepatuhan perpajakan masyarakat diharapkan akan meningkat dan dapat menciptakan keadilan iklim berusaha.
Keempat, penerimaan juga dipengaruhi oleh perkembangan harga komoditas. Proyeksi harga komoditas, terutama ICP, akan memengaruhi penerimaan pajak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung terlihat pada PPh migas, sedangkan dampak tidak langsung terdapat pada PPh badan dan PPN.
Kelima, faktor administrasi perpajakan, yang meliputi sistem informasi, ketersediaan data, dan tata kelola organisasi. Pada 2023, pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) akan digulirkan untuk mendukung kinerja penerimaan pajak.
Namun, penggunaan sistem yang baru dapat kurang optimal apabila tidak didukung kesiapan organisasi dan sumber daya aparatur yang menggunakannya. Dengan demikian, perlu ada proses alih teknologi dan pemahaman melalui pelatihan bagi pegawai. (DDTCNews)
Pemerintah menargetkan rasio penerimaan perpajakan atau tax ratio pada 2023 akan sebesar 9,61% atau lebih rendah dari proyeksi pemerintah pada 2022 sebesar 9,99%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan target yang lebih rendah tersebut dikarenakan kenaikan harga komoditas dan penyelenggaraan PPS yang terjadi pada 2022 tidak akan terulang pada tahun depan.
"Karena baseline dari tahun 2022 berasal dari PPS dan windfall profit dari komoditas makanya tax ratio dihitung berdasarkan baseline dengan distorsi itu dihilangkan atau dalam hal ini dinormalisasi," katanya. (DDTCNews/Kontan)
Pemerintah menargetkan penerimaan cukai pada 2023 mencapai Rp245,44 triliun, atau tumbuh 9,5% dari outlook penerimaan cukai 2022 sejumlah Rp224,2 triliun. Pemerintah akan melakukan sejumlah langkah optimalisasi penerimaan cukai seiring dengan penerapan UU HPP.
Upaya intensifikasi cukai dilakukan dengan menyesuaikan tarif cukai terutama cukai hasil tembakau. Namun, langkah tersebut tetap akan memperhatikan tingkat pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, dan faktor pengendalian konsumsi.
Untuk ekstensifikasi cukai, pemerintah akan mengenakan barang kena cukai baru berupa plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan. Upaya itu juga didorong oleh pengendalian dan pengawasan atas peredaran barang kena cukai ilegal. (DDTCNews)
Ditjen Pajak (DJP) memulai gelaran Pajak Bertutur 2022 dengan tema Generasi Sadar Pajak, Muda Berkreasi Membangun Negeri.
Seluruh unit vertikal DJP mulai dari kantor pusat, 34 kanwil, 352 KPP, dan 204 KP2KP turut serta dalam gelaran Pajak Bertutur tahun ini. Pajak Bertutur 2022 diselenggarakan dengan melibatkan 600 sekolah dan perguruan tinggi serta 18.000 pelajar dan mahasiswa. (DDTCNews)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pemerintah daerah mempercepat realisasi APBD 2022. Jokowi mengatakan percepatan realisasi belanja diperlukan untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi daerah. APBD juga dapat menjadi instrumen untuk mengendalikan laju inflasi di daerah.
"Ini penting sekali untuk yang namanya perputaran uang di daerah, pertumbuhan ekonomi di daerah. Yang namanya APBD segera keluar agar beredar di masyarakat," katanya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.