PEMULIHAN EKONOMI NASIONAL

OECD Beberkan Berbagai Faktor yang Berisiko Ganggu Ekonomi Indonesia

Muhamad Wildan | Jumat, 19 Maret 2021 | 15:15 WIB
OECD Beberkan Berbagai Faktor yang Berisiko Ganggu Ekonomi Indonesia

Ilustrasi. Sejumlah anggota Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel menerima suntikan vaksin COVID-19 di Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat (19/3/2021). Sebanyak 4.990 pekerja hotel dan restoran di daerah itu ditargetkan menerima vaksin COVID-19 dengan jadwal pelaksanaan 19-23 Maret 2021. ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/foc.

JAKARTA, DDTCNews – Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menilai masih terdapat beberapa faktor yang bisa menjadi downside risk atas prospek pemulihan ekonomi Indonesia.

Menurut OECD, ekonomi Indonesia tahun ini mampu tumbuh hingga 4,9% dan dapat mencapai 5,4% pada 2022. Namun, faktor-faktor seperti pandemi Covid-19, ketidakpastian global, dan bencana alam dinilai bisa menekan prospek pemulihan ekonomi.

"Negara berkembang seperti Indonesia memiliki sektor informal yang besar. Sektor ini sulit bertahan menghadapi pandemi Covid-19," tulis OECD pada laporan OECD Economic Survey of Indonesia 2021, dikutip Jumat (19/3/2021).

Baca Juga:
DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Apabila Indonesia tidak mampu menekan laju penularan pandemi Covid-19, OECD menilai akan muncul risiko tekanan lebih lanjut terhadap kelompok masyarakat rentan dan sistem pelayanan kesehatan.

Namun, jika pembatasan aktivitas ekonomi dan sosial diberlakukan kembali, hal ini akan menekan pemulihan permintaan domestik dan sektor pariwisata.

OECD memperkirakan peningkatan tensi geopolitik dan perdagangan global juga dapat berpotensi mengganggu rantai pasok. Hal ini diperkirakan akan menghambat laju ekspor sumber daya alam dari Indonesia ke negara importir.

Baca Juga:
Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Risiko juga datang dari aliran modal asing. OECD menilai aliran modal asing yang keluar (capital outflow) secara mendadak akan berpotensi menekan nilai tukar rupiah dan memaksa otoritas moneter memperketat kebijakan moneternya.

Selain itu, bencana alam yang rutin terjadi di Indonesia seperti cuaca ekstrim dan gempa bumi juga berpotensi membebani perekonomian dan fiskal pemerintah. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja

Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Anggota DPR Ini Minta Prabowo Kaji Ulang Kenaikan PPN Jadi 12 Persen

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN