Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memutuskan menaikkan tarif sanksi administrasi denda atas pejabat pembuat akta tanah (PPAT) atau notaris yang tidak melaksanakan kewajibannya terkait dengan bea perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (BPHTB).
Dalam Pasal 60 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah (PP) 35/2023, PPAT atau notaris memiliki kewajiban untuk meminta bukti pembayaran BPHTB kepada wajib pajak sebelum menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Bila kewajiban ini tidak dilakukan, PPAT atau notaris bakal dijatuhi denda senilai Rp10 juta. "Denda sebesar Rp10 juta untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a," bunyi Pasal 60 ayat (2) huruf a PP 35/2023, dikutip pada Rabu (21/6/2023).
Dalam ketentuan sebelumnya, yaitu UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), PPAT atau notaris yang tidak meminta bukti pembayaran BPHTB sebelum menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai denda Rp7,5 juta.
Selanjutnya, PPAT atau notaris juga memiliki kewajiban untuk melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) dan pembuatan akta atas tanah dan/atau bangunan kepada pemda paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Bila kewajiban ini tidak dilaksanakan, PPAT atau notaris bakal dijatuhi sanksi berupa denda senilai Rp1 juta untuk setiap laporan sebagaimana diatur dalam PP 35/2023.
Dalam UU PDRD, PPAT atau notaris yang tidak melaporkan pembuatan akta paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya hanya dikenai sanksi berupa denda senilai Rp250.000 untuk setiap laporan.
BPHTB merupakan salah satu jenis pajak yang bersifat self-assessment dan menjadi kewenangan kabupaten/kota. Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang timbul akibat jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, waris, lelang, hadiah, dan lain-lain.
Hak atas tanah yang dimaksud antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.
Dalam konteks jual beli, BPHTB terutang pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya PPJB. Bila transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tidak menggunakan PPJB, saat terutang BPHTB adalah saat ditandatanganinya akta jual beli (AJB).
Sementara itu, wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. Dengan demikian, BPHTB harus dibayar oleh pembeli tanah dan/atau bangunan.
Tarif BPHTB ditetapkan oleh kabupaten/kota maksimal sebesar 5%. Sementara itu, dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak yakni nilai transaksi, nilai pasar, atau harga transaksi dalam risalah lelang.
Bila nilai perolehan lebih rendah dari nilai jual objek pajak (NJOP) maka dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP.
Sebelum ketentuan terbaru terkait BPHTB sebagaimana termuat dalam UU HKPD dan PP 35/2023 diberlakukan, pemkab/pemkot perlu terlebih dahulu melakukan penyesuaian terhadap perda di daerahnya masing-masing.
Perda pajak daerah dan retribusi daerah harus disesuaikan dengan UU HKPD dan PP 35/2023 paling lambat pada 5 Januari 2024.
Bila jangka waktu tersebut tidak terpenuhi, ketentuan mengenai pajak dan retribusi di daerah tersebut harus mengikuti ketentuan pada UU HKPD serta PP 35/2023.
"PP ini [PP 35/2023] menjadi dasar dan pedoman bagi pemda dalam menerbitkan perda, perkada, dan/atau peraturan pelaksanaan lainnya dalam rangka pemungutan pajak dan retribusi, termasuk sistem dan prosedur pemungutan, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan tiap daerah," bunyi bagian penjelas PP 35/2023. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.