Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Setelah beberapa tahun mengalami penundaan, pajak karbon di Afrika Selatan resmi berlaku mulai 1 Juni 2019.
Presiden Cyril Ramaphosa telah menandatangani undang-undang (UU) terkait pajak karbon tersebut pada Minggu (26/5/2019). Dengan demikian, perdebatan yang dimulai sejak 2010 resmi berakhir. Afrika Selatan menjadi salah satu dari sekitar 40 negara di dunia yang mengadopsi carbon-pricing program.
“Pajak akan diberlakukan secara bertahap,” demikian informasi yang dikutip dari NPR, Senin (27/5/2019).
Pada fase pertama, pemajakan akan berjalan hingga Desember 2022 dengan nilai pajak sekitar US$8,34 per ton setara CO2. Namun, berdasarkan pernyataan Departemen Keuangan Nasional, keringanan pajak akan secara signifikan mengurangi tarif efektif.
Adapun fase kedua kebijakan akan dimulai pada 2023 dan berakhir pada 2030. Pemerintah akan menilai dampak pengenaan pajak dan kemajuan negara dalam mencapai sasaran emisi sebelum meninggalkan fase pertama dan masuk ke fase kedua.
Para pendukung pajak karbon mengatakan biaya sebenarnya dari emisi karbon – kontributor utama perubahan iklim – tidak tercermin dalam harga bahan bakar fosil. Banyak ekonom berpendapat pengenaan pajak karbon akan menghasilkan pergeseran ke arah sumber energi yang lebih bersih.
Perusahaan listrik milik negara, Eskom, sebelumnya mengatakan pajak karbon akan menaikkan harga listrik dan menggerus laba. Namun, Departemen Keuangan Nasional mengatakan bahwa mereka tidak mengharapkan adanya kenaikan harga listrik.
Raksasa industri padat energi, seperti produsen baja dan produsen emas, telah menentang pajak karbon. Mereka beranggapan kebijakan tersebut akan menaikkan biaya terlalu banyak sehingga pada gilirannya berisiko menggerus laba. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.