“DISUKAI atau tidak, hampir seluruh penguasa (negara) merupakan predator yang berusaha memaksimalkan penerimaan". Begitulah penilaian Profesor Ilmu Politik Harvard University, Margaret Levi terhadap negara.
Tak hanya Levi, negara juga dipandang negatif di mata Thomas Hobbes. Filsuf asal Inggris ini bahkan menganalogikan negara sebagai “Sang Leviathan”, monster laut raksasa yang menakutkan pada mitologi bangsa Timur Tengah.
Menurut Hobbes, negara dianggap menakutkan karena menuntut penuh kepatuhan warga negaranya demi tujuan tertentu. Lantas, benarkah negara selalu berperan demikian? Lalu bagaimana korelasinya dengan penerimaan negara?
Margaret Levi memunculkan teorinya yang mengangkat tema relasi antara kekuasaan, negara, dan penerimaan. Buku “Of Rule and Revenue” ini merupakan lanjutan dari konstruksi pemikirannya yang tertulis dalam buku pertama, “A Theory of Predatory Rule”.
Teori aturan predator digunakan sebagai pisau analisis dalam memahami penerimaan negara secara historis dan komparatif. Buku ini juga menunjukkan pentingnya faktor politik, kelembagaan, dan tindakan individu dalam kebijakan penerimaan negara.
Sesuai dengan tesisnya, Levi berpendapat penguasa berupaya memaksimalkan penerimaan dari konstituennya melalui berbagai motif. Meski begitu, upaya penguasa tersebut tidaklah mudah karena terkendala tiga hal.
Pertama, posisi tawar penguasa yang terbatas. Pengaruh dari para penguasa ditentukan melalui tingkat ketergantungan konstituen terhadap sumber daya –baik ekonomi maupun politik—yang dikendalikan oleh penguasa.
Kedua yaitu kehadiran biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan biaya untuk perumusan hingga implementasi suatu kebijakan seperti biaya negosiasi, pemantauan kepatuhan, agen birokrasi, dan lain sebagainya.
Ketiga, tingkat pengembalian di masa mendatang. Dalam konteks ini, penguasa memilih kebijakan terkait penerimaan dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat terhadap tingkat pengembalian ke depan.
Buku ini juga menyajikan pengalaman empiris-historis dari pilihan kebijakan penerimaan di beberapa negara. Contoh, ketika abad pertengahan dan renaissance di Inggris dan Prancis. Kala itu, kedua negara mengalami paradoks peran lembaga perwakilan.
Dominasi kerajaan Inggris dapat diseimbangkan parlemen sehingga menghasilkan sistem pajak yang lebih adil. Di Perancis, kerajaan cenderung mendistorsi parlemen sehingga pajak dapat dikenakan tanpa negosiasi dan jaminan kepatuhan.
Kasus lainnya di Australia periode 1990-an. Kala itu, tekanan terbesar bukan berasal dari institusi publik, melainkan konstituen itu sendiri. Hal ini juga mengafirmasi analisis Levi soal kendala pertama yakni posisi tawar negara yang terbatas.
Oleh karena itu, pilihan kebijakan pajak dapat dipengaruhi oleh siklus anggaran politik yang bertujuan merebut suara konstituen dan meningkatkan elektabilitas. Namun, hal itu saja tidak cukup karena kebijakan pajak yang efektif mensyaratkan kepatuhan aktual.
Levi pun mengenalkan konsep kepatuhan semi-sukarela (quasi-voluntary compliance). Konsep ini menekankan otoritas hukum tidak bisa hanya bersandar pada paksaan, tetapi juga harus dapat sukarela dipraktikkan oleh seluruh aktor sosial.
Dalam menciptakan kepatuhan semi-sukarela, penguasa mencari strategi non-koersif dalam membangun kerja sama terhadap konstituen dengan menciptakan legitimasi publik terkait kontribusi pajak terhadap pembangunan. Sejalan dengan itu, penguasa tetap memberikan sanksi kepada pihak yang tidak patuh.
Buku ini sangat relevan bagi kalangan akademis, pemangku kebijakan, dan masyarakat sipil. Buku ini menyajikan perbandingan historis-empiris mengenai relasi antara negara, kekuasaan, dan penerimaan. Tertarik membaca buku ini? Silakan Anda baca langsung di DDTC Library.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.