BEBERAPA waktu lalu, penerapan solusi kebijakan pajak ekonomi digital berbasis konsensus global yang diinisiasi OECD telah disepakati oleh negara-negara yang tergabung dalam G20. Proposal OECD ini merupakan bagian dari dari proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) dalam mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi.
Proposal tersebut terdiri dari dua pilar yaitu Pilar 1 dan Pilar 2. Hal menarik terletak pada Pilar 1 yang dianggap telah mengesampingkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau yang biasa dikenal dengan istilah Arm’s Length Principle (ALP). Pilar 1 mengusulkan adanya hybrid system dalam pengalokasian laba secara global yang terdiri dari ALP, tetapi juga dilengkapi dengan unsur-unsur formulary apportionment (FA).
Formula yang diusung tersebut memberikan bagian dari laba sisa (residual profit) atau laba nonrutin suatu perusahaan multinasional ke negara pasar. Selama beberapa dekade lalu, OECD sempat menolak alokasi laba berbasis FA, tetapi kini OECD rela melepaskan pendiriannya tersebut.
Keraguan atas kelayakan ALP dalam memastikan distribusi basis pajak penghasilan yang dianggap adil pada suatu negara diperkuat melalui pilar dua yang mengusulkan pajak minimum global untuk perusahaan multinasional.
Meskipun tidak secara langsung dapat memengaruhi ALP, tetapi hal tersebut turut mengindikasikan OECD secara tidak langsung mengakui bahwa ALP pada dasarnya tidak dapat membagi basis pajak yang adil.
Menurut Ulrich Scheriber et al (2020) dalam jurnal yang berjudul Why the Arm’s Length Principle Should Be Maintained, pengabaian atas ALP dinilai sebagai langkah yang keliru. ALP seharusnya tetap dipertahankan karena dapat memberikan solusi yang lebih menjanjikan ke depannya untuk menciptakan keadilan perpajakan antaryurisdiksi yang timbul dari digitalisasi ekonomi, bukan dengan pendekatan alokasi laba berbasis FA.
Fleksibilitas dari ALP menjadi kunci utama. Dalam konteks bilateral, ALP mempermudah proses negosiasi antarnegara untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan fiskal yang berbeda. ALP tidak memerlukan koordinasi perpajakan internasional berskala besar karena hanya berfokus pada harga dalam transaksi internal.
Setiap otoritas pajak dari suatu negara dapat mengacu pada harga pasar yang sama untuk satu transaksi tanpa perlu mengadakan kerja sama lebih lanjut ataupun menetapkan aturan umum untuk pembagian laba yang adil. Sebaliknya, FA membutuhkan koordinasi perpajakan yang tinggi antarnegara atas aturan dan formula umum untuk mengalokasikan laba ke suatu negara.
Basis FA harus melihat perusahaan multinasional sebagai satu kesatuan entitas ekonomi, bukan entitas terpisah. Hal ini menunjukkan sulitnya menyepakati formula yang tepat dan adil mengingat bahwa setiap negara memiliki kepentingan fiskal dan ekonomi yang berbeda-beda.
Tidak hanya pertimbangan untuk mempertahankan ALP sebagai solusi, dalam jurnal ini pun dimuat mengenai kelemahan dari ALP, baik secara teoritis maupun praktis. Konteks ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai latar belakang adanya skenario atau rumusan solusi selain ALP dalam mencapai keadilan perpajakan secara global, khususnya terkait dengan ekonomi digital.
Dari perspektif teoritis, ALP dianggap menyimpang karena pada hakikatnya perusahaan multinasional telah melakukan upaya internalisasi dengan mengganti kondisi di luar perusahaan yang tidak sempurna dengan internalisasi pasar melalui fungsi-fungsi yang dilakukan antarperusahaan dalam grup usaha. Dengan kata lain, baik dari sisi struktur, koordinasi, maupun biaya atas suatu transaksi internal akan berbeda dan tidak sebanding dengan kondisi pasar (transaksi independen).
Hingga saat ini, makin jelas terlihat isu dari meningkatnya penggunaan aset tidak berwujud dalam proses penciptaan nilai pada perusahaan multinasional. Banyak perusahaan yang menggunakan aset tidak berwujud untuk mengalihkan labanya ke negara dengan tarif pajak rendah.
Pola perencanaan pajak ini juga sangat terkait dengan model bisnis digital di mana beberapa perusahaan multinasional besar di dunia dapat menyediakan produk dan jasa mereka kepada pelanggan yang berlokasi di negara asing (negara pasar) tanpa membayar pajak penghasilan yang signifikan di masing-masing negara tersebut.
Meski OECD (2017) telah menambahkan skema development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation (DEMPE) dalam ALP, tetapi implementasi atas analisis fungsional dan penilaian DEMPE juga menyebabkan kompleksitas ALP meningkat tajam, termasuk dalam hal biaya kepatuhan dan administrasinya. Kelemahan-kelemahan tersebut membuat evolusi ALP diperlukan sebagai terobosan penting yang dapat diambil sebagai langkah ke depannya.
ALP harus diperbaiki secara substansial agar dapat terus diterapkan di masa mendatang. Perbaikan dapat berfokus pada dua masalah utama ALP saat ini. Pertama, pengurangan kompleksitas atas aturan transfer pricing yang tergolong rumit.
Kedua, fokus untuk memastikan kepastian hukum yang lebih baik. Sebab, setiap transaksi internal dalam suatu perusahaan multinasional setidaknya akan tetap melibatkan administrasi pajak dari dua negara yang berdaulat sehingga ketentuan hukum yang ada tidak menjamin bahwa kedua negara tersebut akan menentukan harga transfer yang sama.
Ketentuan mengenai safe haven serta penyempurnaan program kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) dapat menjadi bagian dari evolusi ALP untuk mencapai hasil kesepakatan yang sama antarnegara sehingga dapat menghindari pajak berganda dan proses pengadilan yang mungkin terjadi yang memakan biaya tinggi.
Tulisan yang dirilis dalam International Transfer Pricing Journal Vol. 27, No. 6, pada akhir tahun 2020 ini dapat memberikan perspektif dan pertimbangan mengapa ALP layak dipertahankan di masa kini dan mendatang, terutama dalam mencapai keadilan hak pemajakan secara global pada era ekonomi digital.
*Artikel ini merupakan artikel yang diikutsertakan dalam Lomba Resensi Jurnal untuk memeriahkan HUT ke-14 DDTC. Simak artikel lainnya di sini.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.