Ilustrasi. Petugas keamanan berjalan di dekat slogan bertuliskan 'Pajak Kuat Indonesia Maju' di sebuah Kantor Pelayanan Pajak, Jakarta, Rabu (14/7/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj.
AGUS Edy merupakan salah satu pelaku usaha yang merasakan dampak pahitnya pandemi Covid-19. Pemilik restoran Lamun Ombak di Medan tersebut mengaku pendapatan usaha atau omzet tergerus hingga 30-40%.
“Sebelum corona, pengunjung banyak, wisatawan banyak, semua ramai lah. Sekarang, wisatawan enggak ada yang masuk, lokal aja yang masuk. Mahasiswa juga bahkan enggak ada. Libur begitu,” katanya dalam sebuah video di media sosial.
Di tengah upayanya menjaga usaha tetap bertahan, Agus tiba-tiba mendapat telepon dari account representative (AR) DJP yang memberitahukan adanya fasilitas pengurangan angsuran PPh Pasal 25. Singkat cerita, pria berumur 51 tahun itu memanfaatkan insentif pajak sejak Mei 2020.
“Alhamdullilah, saya cukup terbantu dengan insentif pajak di tengah pandemi Covid-19,” tuturnya.
Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 merupakan salah satu dari sekian banyak insentif yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha dalam merespons dampak Covid-19. Insentif tersebut diberikan sejak 2020 dan diperpanjang hingga akhir Desember 2021.
Selain diskon angsuran PPh Pasal 25, insentif pajak lainnya yang diberikan kepada dunia usaha pada 2021 antara lain PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP), PPh final UMKM DTP, pembebasan PPh Pasal 22 impor.
Kemudian, pembebasan bea masuk, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, restitusi PPN dipercepat, serta PPN atas sewa unit di mal DTP. Selain itu, ada juga insentif untuk mendorong konsumsi kelas menengah, yaitu PPnBM mobil DTP dan PPN rumah DTP.
Tingkat pemanfaatan berbagai insentif tersebut juga terbilang maksimal, bahkan diperkirakan dapat melampaui pagu yang ditetapkan. Hingga 19 November 2021, realisasi insentif pajak tersebut telah terserap Rp62,47 triliun atau 99,4% dari pagu senilai Rp62,83 triliun.
PPh final DTP menjadi insentif yang paling banyak dimanfaatkan, yaitu 132.992 wajib pajak UMKM. Disusul, PPh Pasal 21 DTP dengan 84.622 pemberi kerja dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 yang dinikmati 57.621 wajib pajak.
Selanjutnya, insentif PPh Pasal 22 impor dinikmati 9.529 wajib pajak dan restitusi PPN dipercepat 2.607 wajib pajak. Adapun insentif pemangkasan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22% dinikmati semua wajib pajak. Lantas, bagaimana insentif pajak pada tahun depan?
Usulan Pelaku Usaha dan DPR
PEMBERIAN insentif pajak memang dipastikan akan kembali dilanjutkan pemerintah pada tahun depan. Presiden Joko Widodo juga sudah memberikan sinyal dalam pidato pengantar RAPBN 2022 pada Agustus 2021.
“Pemberian berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur diharapkan mampu mendorong percepatan pemulihan dan peningkatan daya saing investasi nasional, serta memacu transformasi ekonomi,” katanya.
Belakangan, pemerintah juga sudah mulai meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan di antaranya Kadin Indonesia. Menurut Kadin, terdapat dua insentif pajak yang dibutuhkan pelaku usaha pada tahun depan, yaitu relaksasi dan penundaan pembayaran pajak.
Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid mengatakan salah satu yang insentif dibutuhkan pelaku usaha pada 2021 adalah kompensasi kerugian yang berlaku untuk masa pajak selanjutnya (carry forward) dan masa pajak sebelumnya (carry back).
"Bicara insentif pajak yang dibutuhkan dunia usaha itu mekanisme carry loss forward dan back harus ada di sana dan bagaimana penundaan pembayaran pajak yang mungkin harus dipikirkan," tuturnya baru-baru ini.
Arsjad berharap kedua insentif pajak tersebut bisa diberikan untuk mendukung pemulihan kegiatan usaha pada tahun depan. Selain itu, ia juga meminta insentif nonpajak dari pemerintah seperti diskon biaya listrik, bantuan modal, dan relaksasi pembayaran kredit.
Tak ketinggalan, wakil rakyat juga turut bersuara terkait dengan insentif pajak pada tahun depan. Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel berpandangan insentif PPnBM mobil DTP tetap dibutuhkan demi menjaga permintaan di dalam negeri.
"Menurut saya, pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang menuju [relaksasi] dan tentu kami akan menggiatkan industri otomotif untuk bisa tumbuh lagi terlebih pascapandemi Covid-19," ujar pria yang pernah menjabat sebagai menteri perdagangan.
Rachmat menuturkan PPnBM DTP memberikan dampak besar dalam memulihkan industri otomotif. Sebab, dampaknya dirasakan 319 perusahaan industri komponen tier 1 dan industri komponen tier 2 dan 3, yang sebagian besar termasuk industri kecil dan menengah (IKM).
Industri otomotif juga dapat menjadi barometer pertumbuhan ekonomi. Jika industri otomotif tumbuh, artinya roda perekonomian nasional juga ikut berputar. Dengan kata lain, insentif tersebut juga untuk mendukung pemulihan ekonomi.
Pengurangan Insentif Pajak
KENDATI insentif pajak kembali diberikan tahun depan, anggaran yang disiapkan pemerintah agaknya akan lebih rendah. Hal ini juga dikarenakan pemerintah akan menggeser fokus insentif dari untuk pemulihan ekonomi, menjadi untuk kepentingan reformasi struktural.
"Secara bertahap insentif akan dikurangi, terutama insentif dalam rangka pemulihan ekonomi. Ini akan digantikan dengan insentif yang sifatnya struktural seperti tax holiday," ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Dia menjelaskan dunia usaha saat ini sudah mulai menunjukkan pemulihan. Penghasilan pelaku usaha pun sudah memperlihatkan adanya peningkatan. Dengan demikian, pengurangan insentif pajak secara bertahap merupakan hal yang logis untuk dilakukan.
Pemerintah juga menegaskan pengurangan insentif hanya untuk sektor usaha yang telah mengalami pemulihan. Untuk sektor usaha yang masih kesulitan, insentif tetap diberikan. Saat ini, pemerintah masih mengevaluasi sektor-sektor usaha tersebut.
Selain itu, pengurangan insentif pajak juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengembalikan kesehatan APBN atau konsolidasi fiskal. Untuk diketahui, pemerintah menargetkan defisit APBN bisa kembali di bawah 3% pada 2023.
Hingga Oktober 2021, defisit APBN sudah mencapai Rp548,9 triliun atau setara dengan 3,29% PDB. Jika tidak ada aral melintang, pemerintah menargetkan defisit APBN tahun ini berada pada kisaran 5,2%—5,4% dari PDB.
Meski fokus insentif pajak digeser pada 2022, pemerintah tetap membuka ruang untuk melanjutkan keringanan pajak sejak 2020 tersebut apabila pandemi ternyata masih berlanjut dan dunia usaha masih membutuhkan dukungan.
Insentif pajak pada tahun ini jelas masih dibutuhkan. Namun, dalam konteks konsolidasi fiskal, pemilihan kriteria penerima insentif harus lebih selektif sehingga dampak terhadap perekonomian dapat maksimal.
Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro menuturkan setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, konteks dan kebutuhan bentuk insentif pada tahun depan mengalami pergeseran jika dibandingkan dengan 2021.
“Jika pemulihan ekonomi terus berjalan konsisten tahun depan, insentif yang dibutuhkan lebih bersifat mendorong produktivitas ekonomi dan menggairahkan konsumsi dibandingkan dengan menaikkan arus kas perusahaan,” tuturnya.
Kedua, percepatan pemulihan setiap sektor berbeda-beda. Menurut Denny, penerima insentif pajak pada tahun depan ada baiknya dipertimbangkan hanya untuk diberikan kepada sektor-sektor usaha yang belum cepat pulih.
Ketiga, keringanan pajak yang diberikan pemerintah secara permanen sudah cukup banyak, mulai dari pemangkasan tarif PPh Badan, penghapusan PPh dividen secara bersyarat, penurunan tarif sanksi, threshold pajak UMKM di bawah Rp500 juta bebas pajak.
Selain itu, ada juga berbagai macam bentuk fasilitas atau insentif pajak lainnya seperti supertax deduction dan tax allowance. Dengan demikian, cukup banyak peluang yang sebenarnya dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan.
“Terakhir, terlepas dari insentif yang akan diberikan, ada baiknya kepastian hukum dan kemudahan pajak dapat lebih diutamakan. Karena pada akhirnya hal tersebutlah yang dibutuhkan wajib pajak,” tutur Denny.
Catatan Pemberian Insentif Pajak
TAK bisa dimungkiri, insentif pajak yang diberikan pemerintah telah membantu dunia usaha untuk menjaga kelangsungan usahanya di tengah badai pandemi. Hal tersebut terkonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan otoritas pajak.
Dalam publikasi DJP berjudul Insentif Pajak Pandemi Covid-19 2020: Fasilitas dan Dampaknya Terhadap Dunia Usaha, dua pertiga dari penerima manfaat menyatakan insentif pajak pandemi Covid-19 sangat merelaksasi kemampuan keuangan.
Manfaat lain yang dirasakan wajib pajak adalah meningkatnya daya beli pekerja sebesar 25% dan manfaat operasional sebesar 9%. Meski demikian, terdapat beberapa catatan dari pelaksanaan insentif pajak kala itu di antaranya seperti penerima insentif salah sasaran.
Ada juga wajib pajak yang melaporkan realisasi pemanfaatan fasilitas, tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jenis insentif yang paling banyak terdapat ketidaksesuaian adalah diskon angsuran PPh Pasal 25.
Selain itu, tingkat kepatuhan pelaporan realisasi insentif pajak pada 2020 belum maksimal yaitu pada kisaran 70%—80%. Fasilitas pajak berdasarkan PMK No. 28/2020 menjadi yang paling rendah di antara semua fasilitas dan insentif pajak.
Administrasi pelaporan realisasi memang masih menjadi kendala bagi penerima insentif. Pemerintah bahkan memperpanjang periode pembetulan laporan realisasi untuk masa pajak semester I/2021 hingga 30 November 2021 melalui PMK 149/2021.
“Kami terus menyempurnakan aplikasi permohonan dan pelaporan insentif agar mudah digunakan wajib pajak. Kami juga memberikan informasi lebih awal apabila ada laporan yang harus diperbaiki,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor.
Senada, OECD juga menekankan pentingnya kemudahan administrasi, baik dalam hal permohonan insentif hingga pelaporan pemanfaatan insentif pajak. Selain itu, hal terpenting lainnya adalah insentif pajak sudah tersosialisasikan secara maksimal sebelum diberlakukan.
Terkait itu, DJP sebenarnya sudah memiliki tim khusus bernama Tim Penilaian Kepatuhan Wajib Pajak Penerima Insentif dan/atau Fasilitas Pajak yang bertugas untuk mengawasi pemanfaatan insentif pajak pandemi Covid-19.
Secara terperinci, tim penilaian memiliki 4 tugas utama. Pertama, menganalisis kepatuhan wajib pajak penerima insentif; memberikan rekomendasi strategi pengawasan dan penegakan hukum atas ketidakpatuhan wajib pajak penerima insentif.
Kemudian, menganalisis dampak pemberian insentif; dan memberikan strategi komunikasi sehingga insentif dapat dimanfaatkan maksimal. Dalam menjalankan tugasnya, tim tersebut menggandeng Itjen Kementerian Keuangan dan menyusun risk control matrix (RCM).(rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.