KAMUS PAJAK

Memahami Konsep Thin Capitalization Rules

Awwaliatul Mukarromah | Kamis, 07 Februari 2019 | 18:55 WIB
Memahami Konsep Thin Capitalization Rules

TERDAPAT berbagai pilihan bagi sebuah perusahaan dalam merancang struktur pembiayaan bisnisnya. Pilihan tersebut umumnya adalah pembiayaan dengan modal, pinjaman, atau kombinasi keduanya. Pemilihan struktur pembiayaan perusahaan dipengaruhi oleh beragam pertimbangan. Salah satu pertimbangan yang berpengaruh besar adalah faktor pajak.

Dalam pembiayaan modal, investasi yang masuk umumnya berupa saham dan sebagai imbalan investasi tersebut, perusahaan membayar dividen kepada pemodal. Adapun dalam pembiayaan melalui utang, timbal balik yang diterima investor biasanya berbentuk bunga.

Dalam pajak, terdapat perbedaan perlakuan antara pembayaran dividen dan bunga. Perbedaan tersebut di antaranya pertama, pembagian dividen tidak dapat dibiayakan (non-deductible) dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, sedangkan beban bunga dapat dibiayakan (deductible).

Baca Juga:
Apa Itu Surat Pemberitahuan untuk Hadir (SPUH) dalam Keberatan Pajak?

Kedua, biasanya imbal hasil dari penyertaan modal dikenakan pajak berganda, yaitu penghasilan dikenai pajak di tingkat laba perusahaan dan berikutnya dikenai pajak lagi di tingkat pemegang saham ketika didistribusikan sebagai dividen. Sedangkan bunga hanya dikenai pajak sekali, yaitu saat diterima oleh pemberi pinjaman saja.

Dengan mempertimbangkan perbedaan perlakuan tersebut, pembiayaan dengan utang cenderung lebih menguntungkan bagi perusahaan. Kemudian, keuntungan tersebut mendorong wajiib pajak untuk lebih memilih sumber pembiayaan yang berasal dari utang ketimbang modal.

Hal itulah yang menjadi masalah bagi otoritas pajak, karena petimbangan perusahaan dalam memilih pembiayaan melalui utang lebih banyak digunakan sebagai bentuk penghindaran pajak (tax avoidance) ketimbang murni motif ekonomi atau bisnis.

Baca Juga:
Apa Itu Nota Pembatalan?

Dalam dunia pajak internasional, bentuk penghindaran pajak tersebut disebut dengan thin capitalization. Untuk mencegah penghindaran pajak melalui thin capitalization, banyak negara di dunia menerapkan thin capitalization rules (TCR).

Lantas bagaimana konsep TCR itu?

Thin capitalization sendiri merujuk pada situasi di mana sebuah perusahaan memiliki jumlah utang yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah modal atau sering disebut 'highly leveraged' (OECD, 2012). Untuk itu, TCR dibuat untuk mencegah hal tersebut terjadi. TCR digunakan untuk mendeteksi adanya modal terselubung melalui pinjaman yang berlebihan (Roy Rohatgi, 2002).

Baca Juga:
Apa Itu Nota Retur?

TCR hanya berlaku bagi pembayaran bunga yang dibayarkan dari subjek pajak dalam negeri (SPDN) kepada subjek pajak luar negeri (SPLN) yang merupakan pemegang saham substansial dari SPDN tersebut. Beberapa ketentuan umum terkait TCR (Roy Rohatgi, 2002) yaitu:

  • Biaya bunga atas suatu pinjaman dari pemegang saham perusahaan afiliasi yang melebihi rasio pinjaman dan modal (debt-to-equity-ratio/DER) yang telah ditetapkan tidak dapat dibiayakan.
  • Pembayaran atas bunga pinjaman yang melebihi dari suatu rasio (DER) tertentu, diperlakukan sebagai pembayaran dividen.
  • Sebagian atau seluruh pinjaman dari pemegang saham perusahaan afiliasi diklasifikasikan sebagai penyertaan modal.

Umumnya DER berkisar antara 3:1 hingga 2:1. Dengan kata lain, jumlah utang yang diizinkan sekitar dua atau tiga kali dari jumlah modal. Untuk itu, dalam merancang peraturan mengenai thin capitalization, penting untuk memperhatikan bagaimana mendefinisikan pinjaman dan modal dalam undang-undang pajak domestik dan bagaimana jika pemberi pinjaman merupakan wajib pajak dalam negeri, apakah diperlakukan berbeda jika si pemberi pinjaman merupakan wajib pajak luar negeri (Darussalam & Danny Septriadi, 2008).

Kendati demikian, TCR tidak selalu menggunakan pendekatan DER. Meskipun banyak negara yang menerapkan DER sebagai TCR, terdapat pendekatan-pendekatan lain, seperti pendekatan subjektif, pendekatan earning treshold, pendekatan arm’s length, dan pendekatan worldwide gearing debt.

Baca Juga:
Terdampak Tarif 12%, Apa Itu PPN dengan Besaran Tertentu?

Untuk memahami konsep thin capitalization, berikut ilustrasi penerapannya. Anggaplah skenario A menggunakan struktur pembiayaan dengan perbandingan utang dan modal 1:1 dan skenario B menggunakan perbandingan utang dan modal 4:1.

Besarnya bunga adalah 10% pinjaman dan besarnya dividen adalah 10% modal. Tarif pajak badan 25%, tarif pajak dividen 10%. Laba usaha sebelum bunga dan pajak 200 dan seluruh laba setelah pajak dibagikan sebagai dividen.


Baca Juga:
Memahami Sekilas soal Tarif Efektif, Setelah PPN 12% Berlaku

Dalam ilustrasi di atas, terlihat bahwa penggunaan thin capitalization lebih menguntungkan baik bagi perusahaan maupun investor. Indikatornya adalah beban pajak efektif yang lebih kecil bagi perusahaan dan return of equity yang lebih besar bagi pemegang saham.

Penggunaan thin capitalization menurut OECD telah diidentifikasikan sebagai salah satu metode yang memfasilitasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) akibat adanya biaya bunga dalam pinjaman yang dapat diakui sebagai deductible expense. Dalam sudut pandang negara berkembang termasuk Indonesia di mana pendanaan investasi sebagian besar melalui utang memberikan risiko dan dapat menimbulkan persoalan BEPS.

Pendekatan DER sendiri merupakan aturan yang paling umum digunakan oleh mayoritas negara di dunia dalam menghadapi praktik thin capitalization. Kesederhanaan dalam penggunaan DER mungkin menjadi salah satu alasan banyak negara menggunakan aturan ini sebagai TCR. Pada 1984, Indonesia pertama kalinya memperkenalkan DER dengan menetapkan besarnya perbandingan utang dan modal maksimal sebesar 3:1. Namun beleid ini ditangguhkan hanya beberapa bulan setelah ditetapkan.

Baca Juga:
Discover the Definition of Alternative Tax Base after 12% VAT

Pada 2015 Indonesia akhirnya merilis aturan DER melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan. Besarnya perbandingan utang dan modal menurut ketentuan terbaru maksimal sebesar 4:1.

OECD dalam laporan akhir BEPS Action 4 tidak merekomendasikan penggunaan DER sebagai TCR, namun lebih merekomendasikan penggunaan pendekatan lain yaitu melalui interest limitation atau lebih sering disebut pendekatan 'earning stripping/earning treshold'. Pendekatan ini menggunakan rasio untuk menentukan seberapa besarnya biaya bunga yang dapat di kurangkan dari jumlah pendapatan, rasio tersebut berasal dari perbandingan bunga dengan EBIT/EBITDA (Earning Before Interest, Tax, Depreciation and Amortization).

Menurut OECD, penggunaan DER masih memberikan banyak kerugian seperti adanya fleksibilitas yang cukup tinggi dalam hal tingkat bunga yang dibayarkan suatu entitas atas utangnya. Selain itu, ada juga potensi entitas yang memiliki modal besar untuk mengurangkan lebih banyak biaya bunga di mana hal tersebut sangatlah mudah dilakukan bagi grup usaha untuk memanipulasi hasil rasio utang terhadap modal dengan menambah tingkat modal dalam entitas tertentu.

Baca Juga:
Cari Tahu soal Apa itu DPP Nilai Lain, Setelah PPN 12%

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berpendapat bahwa pendekatan earning stripping yang lebih direkomendasikan oleh OECD secara langsung dapat membatasi penggerusan basis pajak di mana wajib pajak tidak dapat mengurangkan biaya bunga melebihi batas yang telah ditetapkan, berbeda dengan DER yang hanya membatasi penggerusan basis pajak secara tidak langsung.

Dengan demikian, pemerintah di setiap negara dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan kombinasi beberapa pendekatan yang direkomendasikan OECD dengan tetap menjaga dampaknya terhadap iklim investasi dan basis pajak di negaranya.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 15 Januari 2025 | 18:30 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Nota Pembatalan?

Senin, 13 Januari 2025 | 19:00 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Nota Retur?

Jumat, 03 Januari 2025 | 09:36 WIB KAMUS PAJAK

Terdampak Tarif 12%, Apa Itu PPN dengan Besaran Tertentu?

BERITA PILIHAN
Jumat, 31 Januari 2025 | 19:30 WIB KONSULTASI PAJAK    

DJP Bisa Tentukan Nilai Harta Berwujud, Ini yang Perlu Diperhatikan

Jumat, 31 Januari 2025 | 19:00 WIB PMK 136/2024

Pajak Minimum Global Bagi WP CbCR Bisa Dinolkan, Begini Kriterianya

Jumat, 31 Januari 2025 | 17:15 WIB DDTC ACADEMY - INTENSIVE COURSE

Wah, Transaksi Intragrup Naik! Perlu Paham Transfer Pricing

Jumat, 31 Januari 2025 | 16:11 WIB CORETAX SYSTEM

Bermunculan Surat Teguran yang Tak Sesuai di Coretax? Jangan Khawatir!

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:47 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Banyak Tantangan, Insentif Fiskal Jadi Andalan untuk Jaga Pertumbuhan

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:31 WIB KEBIJAKAN PAJAK

WP Tax Holiday Terdampak Pajak Minimum Global, PPh Badan Turun Lagi?

Jumat, 31 Januari 2025 | 15:11 WIB KEBIJAKAN INVESTASI

Supertax Deduction Kurang Laku, Ternyata Banyak Investor Tak Tahu

Jumat, 31 Januari 2025 | 14:30 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Demi Kejar Pajak, Dinas ESDM Petakan Ulang Sumur Air Tanah di Daerah

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:45 WIB PAJAK MINIMUM GLOBAL

Ada Pajak Minimum Global, RI Cari Cara Biar Insentif KEK Tetap Menarik

Jumat, 31 Januari 2025 | 13:25 WIB TAX CENTER UNIVERSITAS ADVENT SURYA NUSANTARA

Gratis untuk Umum! Sosialisasi Soal Coretax, PPN 12%, dan SAK EMKM-EP