TAJUK PAJAK

Lagi-lagi Shortfall

Redaksi DDTCNews | Rabu, 20 November 2019 | 15:10 WIB
Lagi-lagi Shortfall

KITA agaknya sudah semakin terbiasa dengan istilah ‘shortfall pajak’. Istilah ini mulai ramai menghiasi media massa terutama sejak 2009, 10 tahun silam. Memang, sejak itulah Ditjen Pajak (DJP) konsisten mempertahankan tradisi shortfall dan terus bertahan sampai sekarang.

Sejak itu pula, shortfall pajak terus meneror aparat pajak setiap menjelang momentum akhir tahun. Seperti tahun ini, ketika shortfall pajak diprediksi akan memperbarui kembali rekor tertingginya sepanjang sejarah, yakni sebesar Rp259 triliun dari target Rp1.577 triliun.

Dahulu, sebagian kalangan, termasuk Dirjen Pajak, sempat menyalahkan target penerimaan yang terlalu tinggi sebagai biang keladi shortfall. Sebagian malah membayangkan, jangan-jangan target itu memang dibuat tinggi agar tidak bisa dicapai, sehingga pemerintah masih bisa menarik utang.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Sebagian lagi berpikir, mungkin persoalannya karena kewenangan DJP yang terbatas. Bermula dari situlah muncul gagasan membentuk Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang langsung di bawah Presiden. Dengan BPP itu dibayangkan keterbatasan kewenangan DJP dapat diatasi.

Sebagian yang lain menyalahkan target pertumbuhan ekonomi yang meleset di bawah target. Namun, argumentasi ini lemah, kalau tidak dikatakan setengah keliru. Sebab, menggali penerimaan pajak tidak identik seperti menjual mobil. Pajak bisa digali sampai 5 tahun ke belakang.

Kalaupun pertumbuhan ekonomi negatif sekalipun, selama masih ada inflasi, penerimaan pajak akan naik secara otomatis. Kita pernah mengalami masa pertumbuhan ekonomi negatif saat krisis moneter 1998, dan penerimaan pajak pada tahun itu tetap dapat terpenuhi.

Baca Juga:
WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Di ujung sana ada yang berpandangan gaji aparatnya masih kurang. Dari sinilah muncul berbagai remunerasi tambahan yang tidak dinikmati pegawai negeri sipil lainnya. Remunerasi itu dimulai pada 2007, lalu dinaikkan lagi pada 2015. Hasilnya: Shortfall pajak terus memperbarui rekornya.

Pada saat yang bersamaan, kepatuhan formal pajak selama 10 tahun terakhir yang ditunjukkan dengan penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) juga terus meningkat. Begitu pula dengan jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang kian bertambah. Lalu, siapa yang salah?

Mungkin yang salah adalah konsensus nasional kita melalui UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. UU tersebut mengurangi masa daluwarsa pajak dari 10 tahun menjadi 5 tahun, dan membebaskan denda pajak dari sebelumnya 50% sebelum banding.

Baca Juga:
Bikin Faktur Pajak Fiktif, Dua Bos Perusahaan Diserahkan ke Kejaksaan

UU itu juga menyebut, penagihan pajak baru bisa dilaksanakan setelah ada putusan inkrach dari pengadilan. Itu berarti, titik pajak terutangnya mundur, dan pembayaran pajak otomatis tertunda. Hal-hal itulah yang kemudian direvisi melalui RUU KUP yang dimasukkan ke parlemen pada 2016.

Mungkin itu pula sebabnya RUU KUP juga menaikkan status kelembagaan DJP menjadi badan di bawah Presiden, terpisah tetapi tetap berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Harapannya, dengan menjadi badan, DJP dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan kewenangannya.

RUU KUP tersebut, dengan kata lain, hendak mengoreksi dan mengembalikan ke tengah UU KUP yang terlalu berada pada bandul kanan (pro-bisnis), dari yang sebelumnya berada pada bandul kiri (pro-negara).

Baca Juga:
DJP Sebut Top-up e-Money Juga Bakal Kena PPN 12 Persen Tahun Depan

Namun, kita tidak tahu kapan RUU itu akan dibahas. Kita juga tidak tahu, apakah Presiden Joko Widodo benar sudah meninggalkan visinya yang dahulu ditunjukkannya, yaitu memisahkan antara fungsi pendapatan dan pengeluaran dalam manajemen pemerintahan.

Yang kita tahu, RUU itu sudah masuk ke parlemen, lalu dibiarkan. Kini, sekonyong-konyong muncul Omnibus Law RUU Kebijakan Perpajakan untuk Memperkuat Perekonomian. Apakah RUU KUP akan tetap dibiarkan? Sampai kapan? Bertanyalah pada rumput yang bergoyang.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 14:30 WIB APARATUR SIPIL NEGARA

Jelang Natal, Pegawai DJP Diminta Tidak Terima Gratifikasi

Selasa, 24 Desember 2024 | 13:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA TIMUR

Bikin Faktur Pajak Fiktif, Dua Bos Perusahaan Diserahkan ke Kejaksaan

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak