KITA agaknya sudah semakin terbiasa dengan istilah ‘shortfall pajak’. Istilah ini mulai ramai menghiasi media massa terutama sejak 2009, 10 tahun silam. Memang, sejak itulah Ditjen Pajak (DJP) konsisten mempertahankan tradisi shortfall dan terus bertahan sampai sekarang.
Sejak itu pula, shortfall pajak terus meneror aparat pajak setiap menjelang momentum akhir tahun. Seperti tahun ini, ketika shortfall pajak diprediksi akan memperbarui kembali rekor tertingginya sepanjang sejarah, yakni sebesar Rp259 triliun dari target Rp1.577 triliun.
Dahulu, sebagian kalangan, termasuk Dirjen Pajak, sempat menyalahkan target penerimaan yang terlalu tinggi sebagai biang keladi shortfall. Sebagian malah membayangkan, jangan-jangan target itu memang dibuat tinggi agar tidak bisa dicapai, sehingga pemerintah masih bisa menarik utang.
Sebagian lagi berpikir, mungkin persoalannya karena kewenangan DJP yang terbatas. Bermula dari situlah muncul gagasan membentuk Badan Penerimaan Pajak (BPP) yang langsung di bawah Presiden. Dengan BPP itu dibayangkan keterbatasan kewenangan DJP dapat diatasi.
Sebagian yang lain menyalahkan target pertumbuhan ekonomi yang meleset di bawah target. Namun, argumentasi ini lemah, kalau tidak dikatakan setengah keliru. Sebab, menggali penerimaan pajak tidak identik seperti menjual mobil. Pajak bisa digali sampai 5 tahun ke belakang.
Kalaupun pertumbuhan ekonomi negatif sekalipun, selama masih ada inflasi, penerimaan pajak akan naik secara otomatis. Kita pernah mengalami masa pertumbuhan ekonomi negatif saat krisis moneter 1998, dan penerimaan pajak pada tahun itu tetap dapat terpenuhi.
Di ujung sana ada yang berpandangan gaji aparatnya masih kurang. Dari sinilah muncul berbagai remunerasi tambahan yang tidak dinikmati pegawai negeri sipil lainnya. Remunerasi itu dimulai pada 2007, lalu dinaikkan lagi pada 2015. Hasilnya: Shortfall pajak terus memperbarui rekornya.
Pada saat yang bersamaan, kepatuhan formal pajak selama 10 tahun terakhir yang ditunjukkan dengan penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) juga terus meningkat. Begitu pula dengan jumlah pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang kian bertambah. Lalu, siapa yang salah?
Mungkin yang salah adalah konsensus nasional kita melalui UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. UU tersebut mengurangi masa daluwarsa pajak dari 10 tahun menjadi 5 tahun, dan membebaskan denda pajak dari sebelumnya 50% sebelum banding.
UU itu juga menyebut, penagihan pajak baru bisa dilaksanakan setelah ada putusan inkrach dari pengadilan. Itu berarti, titik pajak terutangnya mundur, dan pembayaran pajak otomatis tertunda. Hal-hal itulah yang kemudian direvisi melalui RUU KUP yang dimasukkan ke parlemen pada 2016.
Mungkin itu pula sebabnya RUU KUP juga menaikkan status kelembagaan DJP menjadi badan di bawah Presiden, terpisah tetapi tetap berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Harapannya, dengan menjadi badan, DJP dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan kewenangannya.
RUU KUP tersebut, dengan kata lain, hendak mengoreksi dan mengembalikan ke tengah UU KUP yang terlalu berada pada bandul kanan (pro-bisnis), dari yang sebelumnya berada pada bandul kiri (pro-negara).
Namun, kita tidak tahu kapan RUU itu akan dibahas. Kita juga tidak tahu, apakah Presiden Joko Widodo benar sudah meninggalkan visinya yang dahulu ditunjukkannya, yaitu memisahkan antara fungsi pendapatan dan pengeluaran dalam manajemen pemerintahan.
Yang kita tahu, RUU itu sudah masuk ke parlemen, lalu dibiarkan. Kini, sekonyong-konyong muncul Omnibus Law RUU Kebijakan Perpajakan untuk Memperkuat Perekonomian. Apakah RUU KUP akan tetap dibiarkan? Sampai kapan? Bertanyalah pada rumput yang bergoyang.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.