BERITA PAJAK HARI INI

Klaster Perpajakan UU Cipta Kerja Muat Perubahan 4 UU, Apa Saja?

Redaksi DDTCNews | Selasa, 06 Oktober 2020 | 09:00 WIB
Klaster Perpajakan UU Cipta Kerja Muat Perubahan 4 UU, Apa Saja?

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menkumham Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mendagri Tito Karnavian, Menaker Ida Fauziyah, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil, dan Menteri LHK Siti Nurbaya berfoto bersama dengan pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.

JAKARTA, DDTCNews – Sebagian substansi RUU Omnibus Law Perpajakan masuk dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR kemarin, Senin (5/10/2020). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (6/10/2020).

Dalam rapat paripurna DPR, sebanyak 6 fraksi menerima, 1 fraksi menerima dengan catatan, dan 2 fraksi menolak pengesahan UU Cipta Kerja. UU yang terdiri atas 15 bab dan 186 pasal ini memuat klaster Perpajakan.

“Kami yakin ini akan dapat mendukung upaya kita bersama untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan investasi, sehingga akan dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian nasional kita,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Selain pengesahan UU Cipta Kerja, masih ada pula bahasan mengenai implementasi nasional e-faktur 3.0. Ditjen Pajak (DJP) menyediakan hotline khusus bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang masih menemui kendala terkait dengan implementasi e-faktur 3.0.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Perubahan 4 UU

Klaster Perpajakan memuat perubahan 4 UU, yaitu UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), serta UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Baca Juga:
Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Adapun perubahan pada UU PPh terjadi pada Pasal 2, Pasal 4, dan Pasal 26. Perubahan pada UU PPN terjadi pada Pasal 1A, Pasal 4A, Pasal 9, dan Pasal 13. Selanjutnya perubahan pada UU KUP terjadi pada Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 13A (dihapus), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17B, Pasal 19, Pasal 27A (dihapus), Pasal 27B (baru), Pasal 38, dan Pasal 44B.

Selanjutnya, perubahan pada UU PDRD terjadi pada Pasal 141, Pasal 144 (dihapus), Pasal 156A (baru), Pasal 156B (baru), Pasal 157 (baru), Pasal 158, Pasal 159, dan Pasal 159A (baru). Beberapa artikel ulasannya dapat dibaca di sini. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)

  • Hotline Khusus

Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan terdapat saluran khusus untuk PKP yang masih membutuhkan asistensi atau menemui kendala saat menggunakan e-faktur 3.0. Konsultasi teknis seputar e-faktur 3.0 tersedia dalam layanan Kring Pajak DJP 1500200.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

"Kami sudah siapkan hotline [konsultasi e-faktur 3.0] di Kring Pajak," katanya. Simak artikel ‘DJP Sediakan Hotline Khusus Konsultasi e-Faktur 3.0’. (DDTCNews)

  • Faktor yang Pengaruhi Rendahnya Pemanfaatan Insentif Pajak

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan dua faktor yang menyebabkan serapan insentif pajak masih rendah adalah kondisi ekonomi yang masih lemah dan tingkat kepatuhan wajib pajak penerima manfaat yang masih rendah.

"Kondisi kegiatan usaha yang masih lemah memang menjadi salah satu penyebab rendahnya serapan insentif pajak yang sudah kami siapkan," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
Jasa Travel Agent Kena PPN Besaran Tertentu, PM Tak Dapat Dikreditkan
  • UU Bea Meterai

DJP menyatakan sebagian besar pengaturan bea meterai yang ada sudah tidak dapat menjawab tantangan kebutuhan peningkatan penerimaan negara. Oleh karena itu, penggantian UU Bea Meterai perlu dilakukan dengan tetap berpegang pada asas kesederhanaan, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Selain itu, tujuan penerapan UU Bea Meterai yang baru antara lain pertama, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang sejahtera.

Kedua, memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai. Ketiga, menerapkan pengenaan bea meterai secara lebih adil. Keempat, menyelaraskan ketentuan bea meterai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. SImak artikel ‘Simak, Penjelasan DJP Soal UU Bea Meterai yang Baru’. (DDTCNews)

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%
  • Kerugian Akibat P3B

Penelitian Netherlands Bureau for Economic Policy Analysis (Centraal Planbureau/CPB) mengungkapkan penerimaan pajak Indonesia dirugikan akibat adanya perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan Belanda.

Dokumen Dutch Tax Treaties and Developing Countries - A Network Analysis, CPB mengungkapkan P3B Indonesia-Belanda banyak dimanfaatkan korporasi multinasional untuk melakukan penghindaran pajak. Hal yang sama terjadi pada P3B Indonesia-Hong Kong dan Indonesia-Uni Emirat Arab. (DDTCNews/Bisnis Indonesia) (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

06 Oktober 2020 | 13:46 WIB

Perubahan pada hukum pajak ini sebenarnya sudah baik jika dilihat dari tujuan yg ingin dicapai, namun apakah implementasi, khususnya administrasi pajaknya akan sesuai dengan harapan untuk menutup grey area tersebut? karena itu, aturan turunan yang mengatur dikemudian hari harus dibuat secara komprehensif agar tidak terjadi multi interpretasi dan timbul kepastian hukum. Dengan adanya kepastian hukum diharapkan kepercayaan publik akan meningkat sehingga terjadi kenaikan Voluntary Tax Compliance

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?