BERITA PAJAK HARI INI

Kejar Tax Ratio, Kontribusi PPh OP dari Pengusaha Perlu Digenjot

Redaksi DDTCNews | Jumat, 10 Mei 2019 | 09:30 WIB
Kejar Tax Ratio, Kontribusi PPh OP dari Pengusaha Perlu Digenjot

JAKARTA, DDTCNews – Sulitnya memungut pajak di Indonesia tercermin pada rendahnya tax ratio yang saat ini tercatat 11,5%. Kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak pun masih minim jika melihat standar tax ratio versi OECD.

Minimnya kepatuhan juga tercermin pada hasil pelaporan SPT 2018 yang tidak menggembirakan. Dari sebanyak 18,3 juta wajib pajak terdaftar, hanya 12,96 juta wajib pajak yang melapor SPT atau 65%. Realisasi itu masih terlampau jauh dibandingkan target kepatuhan formal tahun ini yang ditentukan sebesar 85% atau sekitar 15,5 juta wajib pajak.

Otoritas pajak mengklaim akan memperbaiki rendahnya rasio dan kepatuhan pajak dalam beberapa tahun ke depan melalui reformasi pajak. Untuk merealisasikannya, Ditjen Pajak berkomitmen untuk tetap menjaga stabilitas dunia usaha.

Baca Juga:
Jangan Bingung, Faktur Pajak Masih Boleh Pakai PPN 11% Hingga 31 Maret

Beberapa media juga menyoroti peluang tambahan penerimaan pajak atas dividen pada kuartal II/2019 karena peningkatan laba mayoritas emiten pada tahun buku 2018. Meskipun ada peluang bagi tambahan penerimaan pajak, kenaikan laba memang tidak berbanding lurus dengan peningkatan dividen. Apalagi, laba tersebut digunakan untuk investasi kembali menjadi modal.

Berikut ringkasannya:

  • Akui Tax Ratio Minim, DJP Kejar Rasio 16%:

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan tax ratio Indonesia tergolong cukup rendah bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Kendati begitu, Hestu mengklaim otoritas pajak terus melaksanakan tax reform, tujuannya untuk meningkatkan tax ratio menjadi 16% dalam jangka menengah, empat atau lima tahun ke depan.

Baca Juga:
Kemenkeu Atur Ulang PMK soal DPP Nilai Lain dan PPN Besaran Tertentu

Hestu menilai Ditjen Pajak pun tidak merasa puas dengan capaian tax ratio tersebut. tapi ke depannya, otoritas pajak akan terus berupaya mendorong tax ratio pada level optimal, namun tetap menjaga kondisi ekonomi yang business friendly.

  • Pakar Usul Ekstensifikasi Sektor PPh Pelaku Usaha:

Pakar Pajak DDTC Darussalam mengatakan kepatuhan membayar pajak di Indonesia memang rendah. Tax ratio Indonesia berada di kisaran 11,5%. Angka itu berada di bawah rasio ideal standar internasional versi OECD yang sebesar 15%. Angka 11,5% mengacu pada pengertian tax ratio secara luas yang mencakup pembayaran pajak, bea dan cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Angka itu akan semakin mengecil jika tax ratio didefinisikan secara sempit yaitu hanya penerimaan pajak yang dikelola Ditjen Pajak, maka hanya 10,3%.

Menurutnya, rendahnya tax ratio karena ada anomali dalam hal struktur pembayar pajak di pembayaran pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) dari kalangan pengusaha. Mengingat, selama ini pembayaran pajak orang pribadi lebih didominasi pajak karyawan. “Fokus idealnya ekstensifikasi ke sektor PPh OP yang melakukan kegiatan usaha, bukan karyawan,” papar Darussalam.

Baca Juga:
Lapor SPT Tahunan Bisa Pakai DJP Online, Formulir WP OP Masih 3 Jenis
  • Kepatuhan Pajak Masih Rendah:

Kepala DDTC Fiscal and Research Bawono Kristiaji memaparkan rendahnya tax ratio Indonesia karena tidak semua sektor bisa dipajaki. Menurutnya ada shadow economy yang tidak tercatat dan tidak masuk dalam sistem. Sektor ini bisa dibilang sulit untuk dihadapi. Ekonomi bayangan yang dimaksud antara lain sektor informal atau sektor ekonomi digital.

Bawono Kristiaji pun meniilai hal lain yang membuat tax ratio rendah adalah karena kepatuhan wajib pajak juga masih rendah. Dia menjelaskan dari 120 juta angkatan kerja Indonesia, hanya 38 juta yang masuk dalam sistem pajak. Hal ini tercermin pada 2018 saat Ditjen Pajak mencatat pelaporan SPT hanya berasal dari 70% wajib pajak.

Terlebih, praktik penghindaran pajak juga kerap terjadi di Indonesia. Pada Tax Amnesty 2017, banyak sekali harta yang berasal dari luar negeri. Jumlahnya bisa mencapai ribuan triliun dan banyak berasal dari negara seperti Singapura atau Hong Kong.

Baca Juga:
Mengidentifikasi 5 Sumber Kebocoran Pajak, Apa Saja?
  • Penerimaan Pajak Dividen Masih Lebih Rendah

Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak (DJP) Yon Arsal mengatakan penerimaan pajak dari pembayaran dividen hingga akhir April masih lebih kecil dari periode yang sama tahun lalu. “Akhir April 2018 mencapai Rp7 triliun. April tahun ini hanya Rp5 triliun,” ujarnya. Masih rendahnya setoran pajak atas dividen ini lebih dikarenakan adanya pergeseran waktu pembayaran. Pasalnya, waktu pembayaran dividen tidak sama tiap tahunnya, meskipun sama-sama di kuartal kedua. “Nanti kami pantau lagi di akhir semester I,” imbuhnya.

  • Darmin Minta Pemda Segera Buat RDTR

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengingatkan pemerintah daerah untuk segera membuat Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) agar memperlancar perizinan lewat Online Single Submission (OSS). Pasalnya, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, baru ada sekitar 50 kabupaten/kota yang memiliki RDTR. “Kalau tidak ada RDTR, izin lokasi usaha tidak bisa diberikan. Jadi terpaksa tetap menggunakan jalur offline.

  • Insentif Pajak Kendaraan Bermotor Disiapkan:

Pemerintah menyiapkan fasilitas insentif fiskal dan infrastruktur untuk menarik investasi pengembangan kendaraan listrik. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan saat ini pemerintah serius mematangkan penyusunan Perpres mengenai program percepatan pengembangan kendaraan listrik.

Dalam implementasinya, pemerintah akan memberlakukan melalui bea masuk 0% dan penurunan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik. Sementara untuk mendukung pengembangan low carbon emission vehicle (LCEV) pemerintah juga memberikan insentif fiskal berupa tax holiday atau mini tax holiday.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 09 Januari 2025 | 08:30 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Jangan Bingung, Faktur Pajak Masih Boleh Pakai PPN 11% Hingga 31 Maret

Rabu, 08 Januari 2025 | 08:39 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Kemenkeu Atur Ulang PMK soal DPP Nilai Lain dan PPN Besaran Tertentu

Selasa, 07 Januari 2025 | 09:11 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Lapor SPT Tahunan Bisa Pakai DJP Online, Formulir WP OP Masih 3 Jenis

Senin, 06 Januari 2025 | 19:03 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Mengidentifikasi 5 Sumber Kebocoran Pajak, Apa Saja?

BERITA PILIHAN
Kamis, 09 Januari 2025 | 19:30 WIB PROVINSI JAWA BARAT

Ada Opsen, Pemprov Jawa Barat Beri Keringanan Pajak Kendaraan

Kamis, 09 Januari 2025 | 19:05 WIB PMK 124/2024

PMK Baru, Susunan Organisasi Ditjen Pajak (DJP) Berubah Jadi Begini

Kamis, 09 Januari 2025 | 19:00 WIB CORETAX SYSTEM

PIC Coretax Tak Bisa Impersonate ke Akun WP Badan? Coba Langkah Ini

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:45 WIB LAYANAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Bea Cukai Ungkap 3 Cara Agar Terhindar dari Penipuan Berkedok Petugas

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:30 WIB LAPORAN WORLD BANK

World Bank Kritik Pajak RI, Luhut: Kita Disamakan dengan Nigeria

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:15 WIB TIPS PAJAK

Cara Ajukan Kode Otorisasi DJP Via Coretax

Kamis, 09 Januari 2025 | 18:00 WIB BEA CUKAI TELUK BAYUR

Sisir Pasar-Pasar, Bea Cukai Sita 35.000 Rokok Ilegal Tanpa Pita Cukai

Kamis, 09 Januari 2025 | 17:04 WIB PMK 124/2024

Peraturan Baru, Competent Authority di Bidang Perpajakan Berubah

Kamis, 09 Januari 2025 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Upaya Perluasan Basis Pajak Terhambat oleh Keterbatasan Data