Ilustrasi.
NARASI mengenai upaya penutupan kebocoran penerimaan negara, termasuk pajak, sering digaungkan sejak awal Prabowo Subianto mulai menjabat sebagai presiden. Kini, diskusi publik terkait dengan upaya tersebut kembali mengemuka.
Terlebih, hari ini, Senin (6/1/2025), Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa realisasi penerimaan pajak tahun lalu meleset dari target APBN 2024. Nilainya Rp1.932,4 triliun atau 97,2% dari target Rp1.988,9 triliun. Pertumbuhannya hanya 3,5%.
Dengan demikian, target penerimaan pajak pada 2025 senilai Rp2.189,3 triliun sama artinya naik sekitar 13,3% dari realisasi pada tahun ini. Selain itu, potensi penerimaan sekitar Rp75 triliun dari PPN 12% tidak bisa diambil sepenuhnya karena skema DPP nilai lain 11/12 dalam PMK 131/2024.
Alhasil, urgensi untuk mencari sumber baru penerimaan pajak – termasuk upaya menutup kebocoran – mendesak. Hal ini penting untuk dikaji sejak sekarang karena lebih berkelanjutan, terlepas dari munculnya wacana penerapan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Founder DDTC Darussalam (2019) juga telah mengimbau perlunya pendalaman sumber kebocoran yang menggerus penerimaan negara dari sektor pajak. Sejalan dengan Cobham (2005), Darussalam memaparkan setidaknya ada 5 sumber kebocoran pajak di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pertama, shadow economy. Adapun shadow economy merupakan kegiatan ekonomi yang tidak tercatat secara resmi oleh pemerintah, baik yang dilakukan secara illegal maupun legal. Shadow economy menjadi kebocoran yang menyasar produk domestik bruto (PDB).
Schneider, Buehn, dan Montenegro (2010) menyatakan rata-rata shadow economy di Indonesia selama periode 1999-2007 sebesar 18,9% dari PDB. Disebut sektor yang sulit dipajaki (hard to tax sector) karena informasi mengenai profil dan perilaku kepatuhannya sulit diketahui.
Ditambah lagi, OECD (2012) menyatakan digitalisasi ekonomi menjadi new shadow economy. Alhasil, perkembangan ini menambah porsi shadow economy. Medina dan Schneider (2018) menyatakan rata-rata shadow economy di Indonesia selama periode 1991-2015 sebesar 24,11% dari PDB.
Kedua, dampak kompetisi pajak. Adanya keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing investasi, sistem pajak kerap digunakan. Bagian dari sebuah kebijakan inilah yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan penghasilan kena pajak (taxable income).
Misal, menurunkan tarif pajak, memberikan insentif, membuat rezim pajak khusus, mendirikan offshore financial center, menjalin P3B yang kurang menguntungkan (adanya penurunan tarif withholding tax), hingga mengubah sistem pemajakan (worldwide versus territorial).
Kebijakan itu pada akhirnya mengerek potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue forgone) atau belanja perpajakan. Belanja perpajakan di Indonesia terus naik. Estimasi pada 2023 senilai Rp362,5 triliun. Nilainya diproyeksi meningkat pada 2024 (Rp399,9 triliun) dan 2025 (Rp445,5 triliun).
Ketiga, pengelakan pajak ke negara dengan tarif rendah, bahkan tidak ada pajak (offshore tax evasion). Menurut Gabriel Zuchman (2015), sekitar US$7,6 triliun dana global disimpan di negara-negara tax haven. Hanya sekitar 20% yang diketahui otoritas pajak negara nasabah tersebut.
Dana tersebut mayoritas diletakkan di Swiss. Untuk Asia, tempat favorit untuk memarkir dana tersebut ada di Singapura dan Hong Kong. Menariknya, porsi penempatan dana di Asia cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Hal ini juga terkonfirmasi dari deklarasi atau repatriasi harta luar negeri pada program amnesti pajak pada 2016-2017 serta program pengungkapan sukarela (PPS) pada 2022. Harta luar negeri paling banyak dari Singapura. Kemudian, ada harta dari Virgin Island dan Hong Kong.
Keempat, praktik base erosion and profit shifting (BEPS). Imbas dari globalisasi ini juga berpengaruh pada penghasilan yang dikenai pajak. Ada beragam skema BEPS, yakni mulai dari menahan penyerahan dividen kepada parent entity, transfer pricing, biaya bunga pinjaman berlebih, treaty shopping, dan sebagainya.
Menurut estimasi OECD, sekitar US$10 miliar hingga US$240 miliar potensi PPh badan hilang secara global. Dengan demikian, sekitar 4%-10% dari potensi PPh badan hilang tiap tahun akibat praktik pengalihan laba (BEPS) tersebut.
Misalnya, diasumsikan potensi yang hilang di Indonesia sekitar 7%. Dengan kinerja penerimaan PPh badan pada 2023 dan 2024 senilai senilai Rp409,8 triliun dan Rp335,8 triliun, potensi yang hilang sekitar Rp23,5 triliun hingga Rp28,6 triliun.
Kelima, praktik tidak dilaporkan dan tidak dibayarkannya beban pajak terutang (unreported and unpaid tax). Kebocoran pajak ini terjadi karena ada beban pajak terutang yang seharusnya dibayar, tetapi tidak dipenuhi.
Kebocoran ini disebabkan berbagai hal, seperti ketidakpatuhan wajib pajak yang disengaja, praktik korupsi, ketidakmampuan administratif, serta kurangnya penegakan hukum. Alhasil, kebocoran langsung berkaitan langsung dengan penerimaan pajak itu sendiri.
Identifikasi atas kelima sumber kebocoran penerimaan negara dari sektor pajak itu perlu didalami oleh pemangku kebijakan. Tidak dimungkiri, upaya untuk menutup celah kebocoran diperlukan karena berdampak pada aspek fundamental penerimaan negara dari sektor pajak.
Belum optimalnya penerimaan negara tidak dapat dilepaskan dari permasalahan fundamental Indonesia selama ini, yakni masih relatif rendahnya kinerja tax ratio. Mengapa demikian? Karena kurang lebih 80% penerimaan negara berasal dari penerimaan perpajakan.
Relatif rendahnya tax ratio ini juga disebabkan masih lemahnya tax buoyancy di Indonesia. Adapun tax buoyancy merupakan indikator seberapa responsif penerimaan pajak terhadap aktivitas ekonomi nasional. Simak pula ‘Perbaiki Tax Ratio, Pemerintahan Prabowo Perlu Redesain Sistem Pajak’. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Apresiasi sebesar-besarnya kepada DDTC. Dengan pendekatan yang komprehensif, DDTC berhasil mengidentifikasi dan menjelaskan dengan jelas berbagai faktor yang berkontribusi terhadap masalah ini, serta memberikan pemahaman yang lebih baik bagi pembaca mengenai pentingnya reformasi dan peningkatan sistem perpajakan. Terima kasih DDTC!
Adanya informasi terkait sumber kebocoran penerimaan pajak negara yang meliputi shadow economy, dampak kompetisi pajak, pengelakan pajak ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah/tidak ada pajak, praktik BEPS, serta adanya beban pajak terutang yang tidak dilaporkan dan tidak dibayarkan, perlu menjadi perhatian khususnya bagi pemerintah. Hal ini tentunya wajib dipahami lebih komprehensif oleh pemerintah dalam rangka mengatasi celah kebocoran pajak sehingga penerimaan negara dalam aspek perpajakan dapat lebih optimal. Terima kasih DDTC atas informasi yang sangat edukatif ini!
Saya mengapresiasi DDTC News atas laporan informatif mengenai diskusi sumber kebocoran pajak ini . Artikel ini menyajikan data dan analisis mendalam tentang lima sumber kebocoran pajak, yang membantu pembaca memahami konteks ekonomi dan fiskal yang dihadapi negara. Penjelasan yang jelas mengenai setiap sumber, seperti shadow economy dan praktik BEPS, membuat informasi mudah dipahami, bahkan bagi yang tidak memiliki latar belakang perpajakan.
Artikel ini memberikan wawasan yang sangat berharga mengenai lima sumber kebocoran pajak yang perlu mendapat perhatian serius dari otoritas pajak. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor ini, diharapkan kebijakan pengawasan dan penegakan pajak dapat diperkuat secara lebih efektif. Kolaborasi antar lembaga, pemanfaatan teknologi yang optimal, serta peningkatan edukasi kepada masyarakat merupakan langkah strategis yang harus segera diimplementasikan. Terima kasih kepada Tim DDTC atas kontribusinya dalam mewujudkan sistem perpajakan yang lebih transparan dan akuntabel.
Informasi dalam artikel ini sangat informatif. Penyampaian yang disampaikan Bapak Darussalam sangat detail dan komprehensif berdasarkan data yang sebenarnya. Bapak Darussalam mengidentifikasi lima sumber utama kebocoran pajak yang menyebabkan rendahnya tax ratio di Indonesia. Hal ini perlu dibenahi oleh Era Pemerintahan Prabowo Gibran dengan turut meredesain struktur penerimaan pajak, regulasi pajak, hingga lembaga otoritas pajak di Indonesia. Semoga langkah konkret yang dilakukan pemerintah Indonesia dapat mencapai Indonesia Emas 2045.
Artikel ini sangat insightful karena membahas tuntas tantangan dalam memaksimalkan pemanfaatan pajak. Adanya artikel ini membahas secara komprehensif dan edukatif untuk memberi solusi strategi antar lembaga, terima kasih tim DDTC hebat atas kontribusi dalam mendukung sistem perpajakan yang berkelanjutan dan lebih transparan.
Identifikasi lima sumber kebocoran pajak memberikan pandanagan yang jelas tentang tantangan yang dihadapi oleh sistem perpajakan di Indonesia. Saya sepakat bahwa untuk meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret dalam memperbaiki regulasi dan penegakan hukum, serta meningkatkan transparansi dalam praktik perpajakan. Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang kewajiban pajak juga sangat penting untuk menciptakan kesadaran dan kepatuhan yang lebih baik. Saya yakin dengan pendekatan yang komprehensif dari segala sisi, Indonesia dapat mengurangi kebocoran pajak dan mendukung pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Terima kasih DDTC Hebat atas informasinya! Artikel ini sangat menarik karena memberikan insight yang relevan tentang tantangan besar yang dihadapi dalam memaksimalkan penerimaan pajak. Penerapan teknologi dan pemanfaatan pertukaran informasi internasional dapat menjadi solusi penting untuk mengatasi shadow economy dan praktik penghindaran pajak. Dengan edukasi yang tepat dan strategi pengawasan yang efektif, kebocoran pajak dapat ditekan, menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Artikel ini memberikan insight yang sangat penting terkait lima sumber kebocoran pajak yang dapat menjadi perhatian utama otoritas pajak. Dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor ini, diharapkan kebijakan pengawasan dan penegakan pajak dapat ditingkatkan secara efektif. Sinergi antar-lembaga, optimalisasi teknologi, dan peningkatan edukasi kepada masyarakat menjadi langkah strategis yang perlu segera diambil. Terima kasih kepada Tim DDTC atas kontribusinya dalam mendukung pembangunan sistem perpajakan yang lebih transparan.
Artikel ini sangat relevan dan memberikan wawasan penting mengenai kebocoran pajak. Lima sumber kebocoran yang disebutkan, seperti transfer pricing dan faktur pajak fiktif, memang perlu perhatian serius. Untuk mengatasinya, pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang tegas sangat dibutuhkan, ditambah dengan edukasi yang lebih baik kepada wajib pajak agar kewajiban mereka lebih dipahami. Ini akan berdampak positif pada penerimaan negara dan pembangunan berkelanjutan. Terima kasih kepada DDTC atas kontribusinya dalam memberikan informasi yang sangat berguna, semoga DDTC terus menjadi pionir dalam mendukung perkembangan sistem perpajakan yang lebih baik dan transparan.