Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan resmi menerbitkan kebijakan tarif cukai 2019. Meski tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau, otoritas menambah produk hasil pengolahan tembakau lain yang kena cukai. Hal ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (17/12/2018).
Kebijakan tarif cukai 2019 ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 156/PMK.010/2018, tentang Perubahan Atas PMK No. 146/PMK.010/2017. Beleid ini ditandatangani Menteri Keuangan pada 12 Desember 2018 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2019.
Melalui aturan tersebut, pemerintah menegaskan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (HT) 2018 akan dilanjutkan pada 2018. Dalam beleid itu, tidak ada rencana simplifikasi layer cukai yang ada dalam aturan sebelumnya.
Sementara itu, untuk cukai hasil pengolahan tembakau lain (HPTL), otoritas tetap menerapkan tarif 57% dari harga jual. Namun, produknya mencakup ekstrak dan esens tembakau (batang, cartridge, kapsul, dan cair), tembakau molases, tembakau hirup, dan tembakau kunyah.
Selain itu, beberapa media nasional juga membahas kembali rencana penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan. Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan rencana tersebut memang memiliki dua sisi, jangka pendek dan jangka panjang.
Berikut ulasan berita selengkapnya:
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 156/PMK.010/2018, pemerintah menegaskan beberapa hal. Pertama,tidak ada kebijakan kenaikan tarif cukai HT maupun kenaikan batasan harga jual eceran (HJE) minimum, sehingga tetap mengacu pada Pasal 6 dan 7 PMK 146/2017. Kedua, ada ketentuan terkait batasan HJE minimum HPTL.
Penyusunan kebijakan HT, menurut Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti, telah mempertimbangkan pengendalian konsumsi rokok, penerimaan negara, tenaga kerja, dan pemberantasan rokok ilegal.
Otoritas akan lebih memfokuskan pada upaya pemberantasan peredaran rokok illegal untuk mengamankan target penerimaan cukai HT pada tahun depan. Langkah ini dilakukan agar industri HT legal dapat tumbuh dan mengisi pasar illegal. Dengan demikian, ada potensi penambahan penerimaan negara sekaligus menjaga keberlangsungan tenaga kerja.
Pemerintah melakukan perubahan tarif minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dan konsentrat yang mengandung etil alkohol (KMEA). Hal ini dilakukan melalui PMK Nomor 158/PMK.010/2018 yang berlaku mulai 1 Januari 2019. Sejak PMK ini mulai berlaku, maka PMK Nomor 62/PMK.011/2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Penyesuaian tarif cukai dalam PMK 158/2018 hanya dilakukan pada MMEA golongan A (kadar alkohol sampai dengan 5%) baik dalam negeri maupun impor sebesar 15%. Sementara, sistem tarif pada KMEA disesuaikan mengikuti international best practices.
Sistem tarif cukai untuk KMEA yang selama ini berlaku adalah untuk KMEA jenis cair. Dalam best practice yang ada di dunia pengenaan jenis dapat berbentuk padat atau sering dikenal dengan powdered alcohol (HS 2106). Dengan demikian, ada penyesuaian tarif cukai KMEA dengan mengkonversi Rp100.000 per liter menjadi Rp1.000 per gram.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan dalam ada dua sisi yang menjadi dampak dari penurunan tarif PPh badan. Pertama, dalam jangka pendek akan menggerus penerimaan karena kontribusinya cukup besar dalam total penerimaan pajak.
Kedua, dalam jangka panjang, akan ada stimulus pada perekonomian yang lebih atraktif. Dengan demikian, ada peluang peningkatan daya saing. Pada saat yang bersamaan, akan ada perbaikan performa penerimaan.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan dengan tingkat kepatuhan pajak yang masih kurang ideal, pemangkasan tarif PPh badan akan berisiko menggerus penerimaan. Penurunan tarif, sambungnya, harus diimbangi dengan perluasan basis pajak.
Dalam konteks peningkatan daya saing, kebijakan insentif pajak bisa diambil. “Jadi, siapapun nanti yang akan memimpin, kalau mau menurunkan tarif harus diikuti dengan perluasan basis pajak. Itu kata kuncinya,” jelas Bawono.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan Indonesia telah menerima informasi keuangan dari 65 negara dan mengirimkan data ke 49 negara dalam konteks automatic exchange of information (AEoI). Dari 65 negara, sebanyak 16 negara memilih untuk tidak resiprokal.
“Keputusan tidak resiprokalnya dari mereka. Salah satu pertimbangannya memang mereka tidak melihat kemungkinan warga negaranya menyimpan aset keuangan di Indonesia. Kebanyak mereka negara kecil tax haven countries seperti Bahama dan Panama,” kata Hestu.
Hingga saat ini, jenis penanaman modal yang masuk ke sistem online single submission (OSS) didominasi oleh investasi dalam negeri, sebanyak 100.387 pelaku usaha atau sekitar 89% dari total investasi yang masuk. Sisanya, sekitar 11% atau 11.896 merupakan investasi asing. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.