Kesibukan pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak di Kanwil DJP Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews—Ditjen Pajak (DJP) akan berhati-hati dan bersikap lunak mengerek naik rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kondisi perekonomian yang tengah tertekan menjadi pertimbangan utama.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan kondisi ekonomi secara keseluruhan saat ini kurang mendukung dalam mengejar penerimaan pajak. Pasalnya, geliat ekonomi nasional tengah tertekan terkena imbas sentimen negatif perekonomian global.
“Kita menyadari bahwa dalam kondisi ekonomi global saat ini yang kurang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang optimal, kita harus tetap menjaga iklim investasi dan kehidupan masyarakat yang tetap kondusif,” katanya kepada DDTCNews, Sabtu (27/7/2019)
Dengan kondisi demikian, Hestu menjelaskan, untuk menopang situasi perekonomian yang tengah tertekan tersebut, relaksasi menjadi pilihan pemerintah. Gelontoran insentif pajak diberikan untuk menggairahkan perekonomian nasional.
Kebijakan itu menjadi pilihan utama ketimbang menggencarkan penerimaan pajak. Pilihan tersebut juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang dalam memperbaiki tax ratio Indonesia. Kebijakan itu dilakukan secara berkala untuk menjamin penerimaan pajak yang berkelanjutan.
“Oleh karena itu, sekarang banyak diberikan berbagai insentif untuk investasi dan dunia usaha. Di sisi lain, meningkatkan tax ratio secara cepat akan memberikan tekanan kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga itu harus dilakukan secara gradual dan terukur,” paparnya.
Seperti diketahui, laporan OECD edisi keenam dari Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies menempatkan rasio pajak Indonesia di posisi paling buncit di antara negara Asia dan Pasifik. Capaian tax ratio sebesar 11,5% masih tertinggal dari negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Thailand.
Laporan itu menyebutkan sejumlah faktor penyebab belum optimalnya tax ratio Indonesia. Salah satunya besarnya porsi sektor informal dalam perekonomian nasional. Indikatornya serapan tenaga kerja Indonesia 57,6% bekerja sektor informal, sehingga tidak tercatat dalam administrasi pajak. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.