DEBAT CAPRES 2019

'Jokowi & Prabowo Harus Perdebatkan Isu Pajak'

Redaksi DDTCNews | Kamis, 11 April 2019 | 18:12 WIB
'Jokowi & Prabowo Harus Perdebatkan Isu Pajak'

Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto.

JAKARTA, DDTCNews - Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto harus memperdebatkan isu-isu perpajakan dalam debat pamungkas capres pada akhir pekan ini.

Dari perdebatan itu akan terlihat seberapa jauh masing-masing capres memahami isu perpajakan, dan juga dengan melihat perannya sebagai tulang punggung penerimaan negara serta peliknya problematika perpajakan.

Peneliti Indef Abra Talattov mengatakan isu kebijakan fiskal, khususnya pajak tidak hanya berkutat kepada wacana penurunan tarif dan penaikan tax ratio. Lebih jauh dari itu, pelbagai masalah dalam kinerja penerimaan idealnya dibahas secara mendalam oleh kedua belah pasangan.

Baca Juga:
PPN 12%, Airlangga: Kenaikan Penerimaan Pajak Bantu Asta Cita Presiden

"Keduanya menawarkan kebijakan populis dalam kebijakan ekonomi terutama soal politik anggaran. Misalnya dalam pajak kedua ingin menurunkan tarif," katanya dalam diskusi Indef Jelang Debat Kelima, Kamis (11/4/2019).

Menurut Ibra, isu pajak tidak hanya berkutat kepada kedua aspek tersebut. Banyak yang terlewat dari arena pembahasan, misalanya rendahnya kepatuhan sukarela wajib pajak. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan kinerja tax ratio tidak bergerak dari kisaran 9%-10%.

Hal tersebut menurutnya dibuktikan dengan kecilnya tax bouyancy dalam beberapa tahun terakhir. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi tidak lantas meningkatkan pertumbuhan penerimaan sebesar 1%.

Baca Juga:
Prabowo Akui Ekonomi Indonesia Belum Tumbuh Secara Merata

"Berkah harga komoditas dan depresiasi nilai tukar membuat kinerja penerimaan pajak sangat baik tahun lalu dengan tax bouyancy hingga 2% lebih," paparnya.

Pada akhirnya, masalah dalam pengelolaan pajak itu bermuara kepada tidak optimalnya realisasi penerimaan. Terbukti dari shortfall penerimaan yang terjadi tiap akhir tahun.

Persentase selisih kurang antara target dan realisasi penerimaan berkutat di kisaran 10% atau dengan realisasi sekitar 90%, di mana detailnya 91,2% pada 2017 dan 94,02% di tahun lalu.

"Dengan demikian shortfall penerimaan akan meningkatkan risiko utang. Peningkatan rasio utang terhadap PDB berbanding terbalik dengan tax ratio," imbuhnya. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 21 Desember 2024 | 08:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN 12%, Airlangga: Kenaikan Penerimaan Pajak Bantu Asta Cita Presiden

Kamis, 19 Desember 2024 | 13:47 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Prabowo Akui Ekonomi Indonesia Belum Tumbuh Secara Merata

Jumat, 13 Desember 2024 | 10:33 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPnBM Itu Pajak Tambahan, Bukan Bentuk Lain PPN atas Barang Mewah

Selasa, 10 Desember 2024 | 17:03 WIB KEBIJAKAN FISKAL

Serahkan DIPA dan TKD 2025, Prabowo Jamin Tutup Kebocoran Anggaran

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak