Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) tengah menyusun petunjuk teknis (juknis) terkait dengan penerapan pembuatan bukti potong dengan NPWP atau NIK yang valid. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (24/10/2023).
Juknis itu dibutuhkan karena adanya implementasi secara penuh penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi mulai 2024. Dengan kebijakan tersebut, tidak ada lagi skema tarif PPh lebih tinggi bagi orang yang tidak ber-NPWP.
“Peraturan tetap ada. Namun, ke depan akan diinfokan juknis/aturan turunan terkait dengan penerapan pembuatan bukti potong yang hanya bisa dibuat jika menginput NPWP/NIK yang valid/teradministrasi di sistem DJP,” tulis DJP dalam laman resminya.
Adapun salah satu contoh peraturan tersebut adalah adalah tarif PPh Pasal 21 yang lebih tinggi 20% untuk wajib pajak yang tidak memiliki NPWP. Nantinya, skema tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi secara sistem.
“Ke depan, tidak akan ada lagi sanksi kenaikan 20%. Apabila ada penghasilan atas wajib pajak tersebut, wajib pajak tersebut harus memberikan NIK yang sudah teraktivasi. Kalau belum maka konsekuensinya bukti potong tidak dapat di-generate,” jelas DJP.
Selain mengenai juknis pembuatan bukti potong harus dengan NPWP atau NIK yang valid, ada pula ulasan terkait dengan kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.
Dengan adanya implementasi penuh NIK sebagai NPWP, bukti potong PPh orang pribadi cukup menggunakan data NIK. Adapun NIK yang dicantumkan harus sudah diaktivasi sebagai NPWP orang pribadi. Tanpa itu, bukti potong tidak dapat dibuat.
“Apabila NIK/NPWP belum valid/teradministrasi maka tidak bisa membuat bukti potong,” imbuh DJP.
DJP kembali mengingatkan jika tidak dilakukan pemotongan atau pemungutan PPh maka pihak pemotong/pemungut dapat dikenakan sanksi. Oleh karena itu, DJP mengharapkan dukungan pemotong/pemungut untuk mendorong pihak lawan transaksi menyampaikan NIK yang valid. (DDTCNews)
Dengan adanya Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU), pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan kantor cabang nantinya menggunakan NPWP pusat. Sesuai dengan PMK 112/2022, NITKU sebagai identitas tempat kegiatan usaha yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan.
Dengan demikian, pembayaran pajak dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) akan menggunakan NPWP pusat. DJP menegaskan akan ada petunjuk teknis (juknis) terkait dengan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut.
“NITKU berbeda dengan NPWP cabang, NITKU tidak memiliki kewajiban perpajakan. Kewajiban perpajakan dilakukan menggunakan NPWP pusat. Juknis apabila sudah siap, pasti akan segera kami sosialisasikan ke wajib pajak,” tulis DJP dalam laman resminya. (DDTCNews)
Analis Keuangan Pusat dan Daerah DJPK Dudi Hermawan mengatakan UU HKPD mengatur berbagai instrumen pembiayaan yang dapat dipilih untuk mempercepat pembangunan di wilayah masing-masing. Kemenkeu akan memantau kepatuhan pemda dalam membayar kewajibannya tepat waktu.
"Kami mengecek apakah mereka dalam APBD-nya itu sudah menganggarkan kewajiban pemda kepada investor, baik itu untuk pembayaran pokok maupun bunga atau imbal hasil," katanya.
Dudi mengatakan UU HKPD mengatur pembiayaan utang daerah terdiri atas pinjaman daerah, obligasi daerah, dan sukuk daerah. Pembiayaan utang daerah ini digunakan untuk membiayai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. (DDTCNews)
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan hingga 18 Oktober 2023, SPT Tahunan yang dilaporkan wajib pajak orang pribadi nonkaryawan baru sebanyak 1,5 juta SPT Tahunan atau 34,09% dari total 4,4 juta.
Dwi mengatakan sebagian besar wajib SPT nonkaryawan merupakan wajib pajak UMKM yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta setahun. DJP akan terus melakukan edukasi agar para wajib pajak UMKM tetap dapat memenuhi kewajiban pelaporan SPT Tahunan. (Kontan)
UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) dan PMK 61/2023 memungkinkan juru sita pajak negara (JSPN) untuk menyita surat berharga milik penanggung pajak yang diperdagangkan di pasar modal. Penyitaan diawali dengan pemblokiran.
Dalam pelaksanaannya, pemblokiran surat berharga milik penanggung pajak dilakukan JSPN dengan terlebih dahulu menyampaikan permintaan pemberitahuan nomor rekening penanggung pajak dan saldo harta kekayaan. Pemberitahuan disampaikan ke lembaga jasa keuangan pasar modal.
"Setelah mengetahui rekening keuangan dan saldo harta kekayaan penanggung pajak, pejabat menyampaikan permintaan pemblokiran ... kepada OJK," bunyi penggalan Pasal 42 ayat (4) PMK 61/2023.
Permintaan pemblokiran rekening dilampiri dengan surat paksa atau daftar surat paksa dan surat perintah melaksanakan penyitaan. Pemblokiran rekening keuangan pada lembaga jasa keuangan sektor pasar modal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
NIK tdk serta merta NPWP, jika memang penghasilannya dibawah PTKP maka scr subjektif tdk wjb dftr NPWP jd menyusahkan sekali jika tdk memiliki NPWP maka tdk bisa membuat bukti potong krn itu jelas memberatkan WP Pemotong. Pemotong mau lapor dan bayar pajak tp sistem pajak yg ga support. Harusnya DJP buat sistem yg memudahkan WP untuk mengecek apakah NIK tsb sdh terdaftar NPWP atau belum agar pemotong bisa memastikan apakah hrs dikenakan 20% lbh tinggi atau menggunakan trf normal