LAPORAN DDTC DARI VIENNA (1)

Implementasi Aksi BEPS: Posisi Berbagai Negara

Denny Vissaro | Minggu, 02 Juli 2017 | 10:02 WIB
Implementasi Aksi BEPS: Posisi Berbagai Negara

Peneliti Pajak DDTC Denny Vissaro saat memaparkan hasil risetnya di Rust Conference, Austria. (Foto: DDTC)

VIENNA, DDTCNews—Pada 29 Juni hingga 2 Juli 2017, Institute for Austrian and International Tax Law dan Vienna University of Economics and Business kembali mengadakan konferensi pajak tahunan Rust Conference. Tema tahun ini adalah "Implementing Key BEPS Actions: Where do We Stand?"

Seperti tahun lalu, DDTC kembali mendapatkan undangan untuk menghadiri konferensi bergengsi ini. Kali ini, dua peneliti DDTC, yaitu B. Bawono Kristiaji dan Denny Vissaro, terpilih sebagai National Reporter bagi Indonesia. Sebagai informasi, National Reporter yang dipilih melalui seleksi ketat tersebut bertanggungjawab untuk menulis paper atas perkembangan BEPS di masing-masing negara. Denny Vissaro hadir sekaligus menjadi pembicara dalam konferensi internasional tersebut. Simak laporan berserinya:

SEPERTI namanya, konferensi pajak internasional Rust Conference ini diselenggarakan di kota Rust, sebuah kota kecil di region selatan Austria. Peserta yang menghadiri konferensi ini berasal dari 36 negara dengan beragam profesi yang memiliki perhatian khusus terhadap isu BEPS.

Baca Juga:
Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Konferensi ini selalu mendapat tempat khusus di kalangan komunitas perpajakan internasional. Beberapa nama ahli pajak mentereng dunia seperti Michael Lang, Jeffrey Owens, Alexander Rust, Claus Staringer, dan Pasquale Pistone memimpin jalannya diskusi dalam konferensi ini.

Konferensi dibuka dengan workshop mengenai riset pajak mengenai BEPS yang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Italia, Cina, dan Republik Ceko. Masing-masing memaparkan perkembangan penelitian mereka dalam meninjau serta mengkritisi implementasi Aksi BEPS.

Diskusi yang konstruktif dan terarah ini berlangsung dengan sangat intens. Berbagai varian dalam penerapan aksi BEPS diungkapkan secara mendalam, dan diperdebatkan dengan terbuka. Para akademisi dan praktisi dari berbagai negara aktif menyumbangkan pemikiran dan pengalamannya.

Baca Juga:
Otoritas Ini Usulkan Perubahan Aturan Pencegahan WP ke Luar Negeri

Pada hari kedua dan ketiga, setiap perwakilan negara memaparkan implementasi Aksi BEPS di negara mereka dan rencana selanjutnya. Mereka memaparkan posisi negara mereka masing-masing serta menjelaskan alasan yang melatarbelakangi pilihan dan modifikasi dari implementasi Aksi BEPS.

Hal ini tidak mengherankan, sebab Aksi BEPS yang ditawarkan oleh OECD masih bersifat umum dan membutuhkan pemikiran lebih lanjut. Ketika dituangkan ke dalam lanskap perpajakan dalam suatu negara, perumusan Aksi BEPS tentunya membutuhkan penyesuaian sesuai dengan konteks dan prioritas negara tersebut.

Posisi Negara Non-OECD

Baca Juga:
Diperpanjang hingga 2030, Lahan Pertanian di Negara Ini Bebas Pajak

SETIDAKNYA ada dua pertimbangan utama ketika suatu negara merumuskan implementasi Aksi BEPS. Pertama, apakah kebijakan yang direkomendasikan memang merupakan opsi paling efektif dalam mengatasi praktik BEPS, atau justru bersifat kontra produktif bagi negara tersebut.

Hal ini ditekankan oleh Yansheng Zu, Profesor Hukum Perpajakan dari Xiamen University dalam konteks kasus transfer pricing. Dia mengingatkan penekanan penciptaan nilai (value creation) dalam Aksi BEPS 8-10 seakan-akan mengesampingkan kontribusi negara-negara berkembang terhadap keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Seharusnya, lanjut Yansheng, hal ini diimbangi dengan value realization yang mempertimbangkan faktor pasar yang pada akhirnya menentukan nilai produk tersebut. Suatu produk dapat menjadi lebih bernilai ketika dihadapkan dengan pasar dengan karakteristik tertentu. Pada akhirnya, persepsi pasarlah yang menentukan seberapa sukses suatu produk dapat dipasarkan.

Baca Juga:
Negara Ini Bebaskan Pajak untuk Pengusaha Beromzet hingga Rp1 Miliar

Hal ini disetujui oleh beberapa perwakilan dari negara lain seperti Brazil dan Italia. Selain pasar, mereka juga berpendapat perlunya dilakukan valuasi terhadap kontribusi tenaga kerja untuk menentukan atribusi keuntungan yang diperoleh entitas perusahaan multinasional. Hal ini dapat dimulai dengan mengestimasi signifikansi dari kontribusi tenaga kerja menggunakan model ekonometrika.

Walau demikian, Professor Alexander Rust berpendapat bahwa hal ini akan menimbulkan konflik baru. Jika suatu perusahaan multinasional mengalami kerugian, maka seharusnya prinsip yang sama juga diterapkan. Dengan kata lain, negara-negara berkembang yang menjadi lokasi pasar utama akan rentan kehilangan basis pajak.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah kapabilitas negara-negara berkembang dalam menerapkan Aksi BEPS. Professor Jeffrey Owens berujar bahwa akan mubazir bagi negara berkembang untuk menggunakan terlalu banyak sumber daya terhadap Aksi BEPS yang sebenarnya bukan prioritas bagi mereka.

Baca Juga:
Taiwan Bakal Berikan Insentif Kredit Pajak untuk WP yang Investasi AI

Sebagai contoh, implementasi Aksi BEPS 2 mengenai Hybrid Mismatch Rule akan menguras terlalu banyak tenaga dan waktu. Hal ini dikarenakan praktik hybrid sangat bersifat kasuistis, dan sulit untuk mengidentifikasi keberadaan hybrid dalam suatu transaksi maupun entitas.

Lalu bagaimana dengan penerapan Aksi BEPS jika ditinjau dari aspek politik? Apa yang akan terjadi dari sisi itu, kolaborasi atau malah kompetisi? Bagaimana pula praktiknya di berbagai negara? Nantikan laporan berikutnya, Senin (3/7). (Amu/Gfa)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?