Director Capacity Building and Tailored Services IBFD Victor van Kommer dalam International Tax Forum (ITF) di Bali, Selasa (24/9/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Hadirnya pajak minimum global memberikan momentum bagi Indonesia untuk mengevaluasi insentif-insentif pajak yang berlaku selama ini.
Berdasarkan catatan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD), insentif-insentif pajak yang diberikan oleh Indonesia masih bersifat tumpang tindih antara satu dengan yang lain.
"Insentif pajak masih tumpang tindih antara satu dan yang lain. Kompleksitasnya luar biasa. Insentif-insentif ini terkadang juga direncanakan secara terpisah," ujar Director Capacity Building and Tailored Services IBFD Victor van Kommer dalam International Tax Forum (ITF), Selasa (24/9/2024).
Tak hanya itu, van Kommer mengatakan insentif-insentif pajak di Indonesia dirancang dengan tidak berlandaskan pada analisis dampak yang jelas. Indonesia perlu melakukan analisis yang lebih mendalam terkait dengan tujuan dari pemberian insentif, dampak anggaran yang ditimbulkan oleh insentif, efektivitas insentif, serta aspek compliance dan enforcement dari insentif.
"Ketika kita membahas subsidi, banyak yang mempertanyakan biaya dari kebijakan tersebut. Namun, mengapa pertanyaan yang sama tidak muncul ketika kita membahas insentif pajak? Hal ini karena politisi tidak sadar betapa besarnya biaya yang ditimbulkan oleh insentif," ujar van Kommer.
Akibat insentif pajak, banyak perusahaan baik multinasional maupun domestik yang tidak membayar PPh badan kepada pemerintah selama bertahun-tahun.
Tak hanya berbiaya mahal, insentif pajak juga tidak mampu menarik semua jenis investasi asing. Menurut van Kommer, insentif pajak adalah instrumen yang efektif untuk menarik efficiency-seeking foreign direct investment (FDI), bukan FDI jenis lain.
Adapun yang dimaksud dengan efficiency-seeking FDI adalah sektor berorientasi ekspor yang bersaing dengan perusahaan pada sektor yang sama secara global. "Insentif pajak amatlah menarik bagi efficiency-seeking FDI karena mereka memiliki target untuk menekan cost," ujar van Kommer.
Berkaca pada kondisi ini, van Kommer mengatakan Indonesia perlu menyusun rencana strategis terkait pengembangan insentif pajak dan nonpajak di tengah berlakunya pajak minimum global. Meski demikian, van Kommer mengamini hal ini tidaklah mudah bagi negara berkembang.
"Negara maju memiliki sumber daya yang mencukupi untuk memberikan insentif nonpajak karena mereka memiliki dana untuk program itu," ujar van Kommer.
Seperti diketahui, pajak minimum global dengan tarif efektif sebesar 15% berlaku atas grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal €750 juta per tahun sejalan dengan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Dengan rezim pajak ini, yurisdiksi tempat ultimate parent entity (UPE) berlokasi bakal memiliki hak untuk mengenakan top-up tax atas laba dari yurisdiksi tertentu yang dipajaki dengan tarif efektif kurang dari 15%. Top-up tax dikenakan berdasarkan income inclusion rule (IIR).
Meski terdapat kewenangan bagi yurisdiksi UPE untuk mengenakan top-up tax melalui IIR, yurisdiksi sumber memiliki hak untuk terlebih dahulu mengenakan top-up tax dalam hal yurisdiksi dimaksud sudah mengadopsi qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT).
Saat ini, Indonesia telah mengadopsi pajak minimum global lewat Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Meski demikian, aspek teknis dari pengenaan pajak minimum global perlu diperinci melalui peraturan menteri keuangan (PMK). (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.