TANJUNG SELOR, DDTCNews – Realisasi pajak alat berat pada tahun 2018 yang hanya mencapai Rp3 miliar di Provinsi Kalimantan Utara dianggap masih sangat minim, karena potensi dan tunggakan yang tersedia diprediksi mencapai Rp19 miliar.
Kepala Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Provinsi Kalimantan Utara Busriansyah mengatakan banyaknya investasi penggalian, pertambangan dan proyek infrastruktur tidak tercermin ke dalam realisasi pajak daerah 2018.
“Kami hanya menerima Rp3 miliar setoran pajak alat berat. Padahal, tunggakan dan potensi pada tahun lalu Rp19 miliar. Rendahnya setoran pajak ini disebabkan karena kekeliruan penafsiran hukum terhadap amar putusan Mahkamah Konstitusi 15//PUU-XV/2017,” ungkapnya di Tanjung Selor, Kamis (14/2/2019).
Busriansyah menilai perusahaan pemilik alat berat tetap harus membayar pajak alat berat, walaupun dalam amar putusan tersebut MK mengabulkan gugatan 3 perusahaan terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Salah satu diktum amar putusan MK 15/2017 menyebutkan kewajiban menyetor pajak alat berat akan tetap berlaku hingga pemerintah dan DPR mengubah UU No. 28 Tahun 2009 dalam waktu 3 tahun. Menurutnya, jika UU Nomor 28 Tahun 2009 belum diubah, maka perusahaan tetap wajib menyetor pajak itu.
Pemohon judicial review UU No. 28 Tahun 2008 itu adalah PT Tunas Jaya Pratama, PT Mappasindo, dan PT Gunungbayan Pratamacoal. Adapun ketentuan yang diuji adalah Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009.
Amar putusan MK menyatakan Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa 'termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen', Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa 'termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar'; Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap UU No. 28 Tahun 2009, khususnya berkenaan dengan pengenaan pajak terhadap alat berat.
“Jangan jadikan amar putusan MK sebagai alasan untuk tidak membayar pajak alat berat. Justru kami yang akan melanggar hukum jika tidak menjalankan UU No. 28 Tahun 2009,” tutur Busriansyah.
Tak hanya beralasan pada amar putusan MK, minimnya setoran pajak alat berat juga disebabkan oleh sulitnya petugas mengawasi pergerakan alat berat. Operasionalnya kerap di daerah terpencil dan aera hutan menambah kesulitan bagi petugas untuk mendapatkan jumlah aktual alat berat.
Di samping itu, petugas juga telah mengirimkan surat imbauan kepada pemilik perusahaan alat berat agar bisa melaksanakan kewajiban pajak secara tertib. Sayangnya, perusahaan yang beroperasi di Kalimantan Utara hanyalah kantor cabang.
“Saat petugas kami menyambangi kantor cabang, pegawai perusahaan tidak selalu bisa mengambil kebijakan karena kantor pusatnya berada di Jakarta. Ada beberapa yang langsung melunasi, tapi ada pula yang tidak,” ungkapnya seperti dilansir Tribunnews.com.
Ke depannya, dia berharap Surat Edaran Gubernur Kalimantan Utara 045.4/714.1/BPPRD/GUB yang terbit pada 24 Mei 2018 bisa mendorong kepatuhan perusahaan. Pasalnya, kebijakan ini menyediakan sanksi, denda administratif, hingga tindakan tegas.
Untuk menegakkan aturan itu, Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie telah meminta kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) seperti BPPRD, Ditlantas Polda, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Pertanian dan ketahanan Pangan, serta Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang (PUPR) Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim). (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.