Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) mengeklaim kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun depan tidak diputuskan secara mendadak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan kenaikan tarif PPN dilaksanakan berdasarkan kajian yang mendalam dan telah diatur dalam UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Ini kebijakan yang sudah didahului dengan kajian ilmiah, sudah dibahas secara komprehensif, dan penetapannya sudah lama, yakni pada saat disahkannya UU HPP 3 tahun yang lalu," ujar Dwi, Selasa (26/11/2024).
Dwi mengatakan kenaikan tarif PPN secara bertahap dari 10% menjadi 12% berdasarkan UU HPP dilaksanakan bersamaan dengan pemberian beragam relaksasi pajak.
Relaksasi yang diberikan antara lain penurunan tarif PPh badan dari 25% menjadi 22%, perluasan lapisan penghasilan kena pajak yang dikenai tarif 5%, dan omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta khusus untuk wajib pajak orang pribadi UMKM. "Ini lagi-lagi adalah sebuah skema bagaimana pemerintah memikirkan daya beli masyarakat," ujar Dwi.
Dwi lagi-lagi menekankan bahwa kenaikan tarif PPN tidak akan berdampak terhadap barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan telah dibebaskan dari PPN, seperti bahan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, jasa pelayanan sosial, dan lain-lain.
"Artinya dalam hal ini pemerintah juga memikirkan untuk diperkuat daya belinya dulu, jenis-jenis barangnya juga tidak semua dikenakan pajak. Kenaikan tarif ini didahului oleh sebuah kajian yang mendalam dan insentif-insentif yang memperkuat daya beli masyarakat," ujar Dwi.
Sebagai informasi, bila merujuk pada naskah akademik RUU HPP, pemerintah pada awalnya mengusulkan skema PPN multitarif dengan tarif umum sebesar 12%, reduced rate sebesar paling rendah 5%, dan higher rate maksimal 25%.
Menurut pemerintah, negara-negara cenderung menaikkan tarif PPN untuk mengompensasi penurunan tarif PPh badan. Namun, kala itu kecenderungan masih belum diikuti oleh Indonesia.
"Oleh karena itu, penerapan multitarif diperlukan untuk meningkatkan penerimaan PPN untuk mengkompensasi penurunan penerimaan PPh badan, pemberian tarif yang lebih rendah bagi barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat banyak dan pemberian tarif yang lebih tinggi terhadap jenis barang dan jasa tertentu untuk memberikan rasa keadilan," tulis pemerintah dalam naskah akademik.
Terlepas dari argumen tersebut, pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk meningkatkan tarif PPN secara bertahap dari 10% ke 11% mulai April 2022 dan menjadi 12% paling lambat mulai 1 Januari 2025.
Terkait dengan perlu tidaknya kenaikan tarif PPN ini, Anda juga bisa menyampaikan pendapat melalui kanal Debat Pajak DDTCNews pada artikel PPN 12%, Setuju atau Tidak? Tulis Komentar Anda, Hadiahnya Buku DDTC.
Sebanyak 6 pembaca DDTCNews yang memberikan pendapat pada kolom komentar artikel itu akan berkesempatan terpilih untuk mendapatkan buku terbitan DDTC berjudul Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.
Keputusan pemenang ditentukan oleh tim DDTCNews dan bersifat mutlak serta tidak dapat diganggu gugat. Penilaian akan diberikan atas komentar yang masuk sampai dengan Jumat, 29 November 2024 pukul 15.00 WIB. Pengumuman pemenang akan disampaikan pada Selasa, 3 Desember 2024. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Setuju PPN 12% dan ppn tersebut tidak membebani bagi pembelian bahan pokok dll - karena Pajak Pertambahan Nilai agar dibebankan pada barang mewah ( mobil motor Hp dll ) tidak untuk baju celana - terima kasih - warga taat pajak
Banyak yg lupa konsep dasar mrpkan pondasi yg penting tanpa pondasi aturan teknis tak ada arti 😄