Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) menjamin seluruh proses penagihan utang pajak kepada wajib pajak (WP) sudah sesuai dengan prosedur operasi standar (SOP). Otoritas pun memastikan tidak ada istilah 'debt collector' dalam penagihan utang pajak tersebut.
DJP juga memastikan seluruh surat yang dikirimkan kepada wajib pajak sudah melalui tahapan penelitian terkait dengan data yang terkandung dalam surat tersebut.
"Wajib pajak dapat merespons surat tersebut secara tertulis atau langsung kepada kantor pajak penerbit surat tersebut," tulis DJP dalam utas yang diunggah di media sosial, dikutip pada Jumat (7/4/2023).
Sejalan dengan proses penagihan utang pajak, kantor pajak juga secara aktif melakukan konfirmasi terkait dengan data-data perpajakan milik wajib pajak. Konfirmasi dilakukan dengan bentuk kunjungan atau verifikasi lapangan.
"Dalam pelaksanaan kunjungan tersebut, pegawai DJP akan mengunjungi wajib pajak dengan membawa surat tugas dan identitas resmi DJP," tulis akun @DitjenPajakRI.
Otoritas pajak, imbuh DJP, memang memiliki petugas yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk menagih utang pajak. Namun, dalam proses penagihannya, petugas pajak tetap memenuhi SOP dan prosedur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan.
Wajib pajak perlu memahami bahwa penagihan aktif dilakukan apabila wajib pajak tidak membayar utang pajaknya sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
"Dalam penagihan aktif, contohnya penyampaian surat paksa, juru sita datang ke tempat wajib pajak dengan membawa surat tugas dan identitas resmi DJP," imbuh DJP.
Apabila wajib pajak menemukan adanya pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak dalam menjalankan tugasnya, pengaduan bisa disampaikan melalui kanal pengaduan.pajak.go.id/form.
Sebagai tambahan informasi, penagihan dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak (STP). Sesuai dengan UU KUP, STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
Berdasarkan pada Pasal 14 ayat (1) UU KUP, dirjen pajak dapat menerbitkan STP atas beberapa kondisi. Pertama, PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. Kedua, dari hasil penelitian, terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
Ketiga, wajib pajak dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga. Keempat, pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak.
Kelima, PKP tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) UU PPN. Keenam, terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada wajib pajak.
Ketujuh, terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai dengan persetujuan untuk mengangsur/menunda pembayaran. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.