Ilustrasi.
DIGITALISASI ekonomi menjadi salah satu pemicu reformasi perpajakan jilid III yang dimulai sejak 2016. Selain dari sisi kebijakan, administrasi pajak juga perlu diperbarui mengikuti dengan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Alhasil, pemerintah menggulirkan agenda pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP).
Tanpa diduga, pada 2020, pandemi Covid-19 melanda Tanah Air. Pembatasan mobilitas dan aktivitas tatap muka diberlakukan untuk mengurangi penularan virus. Pada masa awal pandemi berlangsung, Ditjen Pajak (DJP) menutup pelayanan dan kunjungan tatap muka. DJP juga sempat menghentikan sementara penerbitan Surat Perintah Pemeriksaan baru.
Kebijakan tersebut berdampak pada performa otoritas tahun lalu. Salah satu indikatornya adalah penurunan jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga deadline berakhir. Berbagai saluran elektronik sudah disediakan, tetapi banyak wajib pajak yang masih terbiasa mendapatkan bimbingan langsung secara tatap muka dari petugas.
Bersamaan dengan penerapan skema work from home (WFH) untuk sebagian pegawai, DJP juga melakukan pengembangan digitalisasi layanan. Skema pelayanan click, call, and counter (3C) mulai diperkenalkan secara bertahap tanpa menunggu PSIAP selesai. Berdasarkan pada hasil analisis remapping DJP, total layanan 3C akan mencapai 169 layanan.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 128 layanan akan diberikan secara digital. Sementara 41 layanan tetap dilakukan di counter kantor pelayanan pajak (KPP) atau kantor wilayah (Kanwil). Sebelum 2020, ada 25 layanan yang telah terdigitalisasi. Pada tahun lalu, ada 30 layanan yang terdigitalisasi. Sisanya ditargetkan selesai pada 2021 hingga setelah 2024.
Penggunaan teknologi digital tidak hanya difokuskan pada pelayanan, tetapi juga pengawasan wajib pajak. Upaya ini sesuai dengan visi PSIAP, yakni menjadikan sistem informasi administrasi perpajakan mudah, andal, terintegrasi, akurat, dan pasti untuk optimalisasi pelayanan dan pengawasan.
Pada 14 Juli 2021, bersamaan dengan momentum Hari Pajak, DJP meluncurkan berbagai aplikasi pendukung pelaksanaan tugas. Sebanyak 4 aplikasi merupakan aplikasi berbasis data analisis untuk mendukung pengawasan, yakni Compliance Risk Management (CRM) Fungsi Transfer Pricing (TP), Ability to Pay (ATP), Smartweb, dan Dashboard Wajib Pajak (WP) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya.
“Dalam 5 tahun terakhir, disrupsi digital betul-betul luar biasa dan ndilalah ketemunya Covid sehingga membuat kami berpikir lebih keras lagi,” ujar Dirjen Pajak Suryo Utomo.
Penggunaan teknologi digital yang diambil DJP telah sesuai dengan tren di beberapa negara. Berdasarkan pada survei yang dilakukan terhadap sejumlah otoritas pajak anggota OECD Forum on Tax Administration (FTA), ada tren penggantian komunikasi tatap muka dengan sarana virtual atau digital. Sekitar 75% otoritas berencana terus memindahkan pemeriksaan lapangan menjadi digital.
Dari hasil survei yang dipublikasikan melalui laporan bertajuk Tax Administration: Digital Resilience in the Covid-19 Environment tersebut, hampir 60% otoritas memperluas penerapan teknologi inovatif untuk membantu memastikan kepatuhan dan mengidentifikasi penggelapan (evasion) atau penipuan (fraud) pajak.
Menariknya, semua otoritas menggunakan data science atau analytics techniques. Sebanyak 30%-50% otoritas menerapkan artificial intelligence (termasuk machine learning), robotic process automation, dan teknologi identifikasi digital. Ada pula otoritas yang menggunakan analisis jaringan (network analysis) dan wawasan perilaku (behavioural insight) untuk memastikan kepatuhan.
Di Indonesia, sesuai dengan penjelasan dalam APBN Kita edisi Juli 2021, Kementerian Keuangan menyatakan PSIAP akan mengadopsi instrumen teknologi terbaru mulai dari big data, advanced analytics, artificial intelligence, hingga robotic process automation. Pembaruan coretax system (PSIAP) ditargetkan rampung pada 2024.
PENGGUNAAN teknologi digital pada gilirannya memang tidak terpisahkan dengan data. Terlebih, pada era transparansi pajak, suplai data melimpah. Dengan teknologi digital, hasil pengolahan atas data tersebut dapat dimanfaatkan untuk menentukan treatment terhadap wajib pajak.
Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP Dasto Ledyanto mengatakan peningkatan value atas pemanfaatan data menjadi aspek yang krusial untuk menuju data driven organization. Artinya, organisasi mampu bekerja, mengambil kesimpulan, dan menetapkan suatu kebijakan dengan menggunakan analisis data secara tepat dan memadai.
“Jadi, semua di-drive dengan data dan kami lakukan dengan bijak,” ujar Dasto dalam DJP IT Summit 2021.
Pengolahan data melalui skema analisis (data analytic) terus dikembangkan DJP. Implementasi data analytics terdiri atas 4 tingkatan. Pertama, analisis deskripsi yang hanya menampilkan dashboard (descriptive). Kedua, analisis penyandingan data (diagnostics). Ketiga, analisis prediksi (predictive). Keempat, analisis solusi atas prediksi (prescriptive).
Dalam implementasi analisis pada tingkatan prescriptive, mulai 2022, akan dilakukan integrasi sistem CRM. Adapun CRM merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara sistematis, terukur, objektif, dan berulang untuk membentuk risk engine sebagai pendukung pengambilan keputusan di DJP secara lebih efisien dan efektif.
Meskipun masih perlu dikembangkan, implementasi data analytics sudah memberi dampak positif. Sepanjang Januari—Juli 2021, sekitar 50% hingga 54% data yang sudah masuk dalam Approweb sudah ditindaklanjuti dengan penerbitan SP2DK hingga LHP2DK. Sekitar 19% data telah direspons dengan pembayaran oleh wajib pajak.
Adapun, sesuai dengan SE-39/PJ/2021, implementasi CRM akan didukung dengan business intelligence. Selain mendukung penyusunan prioritas rencana tindakan, business intelligence dapat digunakan pada setiap tahap pelaksanaan serta evaluasi kegiatan pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan. Business intelligence menghasilkan output yang terintegrasi dengan seluruh keputusan strategis setiap proses bisnis pada DJP.
Dengan Implementasi CRM dan integrasi output, Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi mengatakan layanan dan pengawasan kepada wajib pajak akan lebih personal. Hal ini dikarenakan otoritas pajak bisa membedakan wajib pajak yang berada pada level paling patuh hingga paling tidak patuh.
“Perlakuan kepada mereka berbeda sehingga kita lebih personal pendekatannya,” ujar Iwan. Simak ‘Tidak Ada Lagi Intervensi Manusia’.
KEBIJAKAN yang diambil berbasis pada hasil pengolahan data dengan teknologi diyakini akan mengurangi diskresi. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap akan tercipta kepastian, efisiensi, dan kesederhanaan administrasi. Selain itu, dia berharap penggunaan teknologi dapat mempersempit kemungkinan pegawai menyalahgunakan data-data wajib pajak.
“Langkah-langkah ini adalah langkah luar biasa yang baik karena akan mempersempit diskresi dari masing-masing fiskus sendiri maupun dari sisi wajib pajak,” kata Sri Mulyani.
Berbagai aplikasi yang digunakan DJP juga diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan risiko tata kelola. Salah satu contoh risikonya adalah kemungkinan petugas pajak memperlakuan wajib pajak sebagai klien pribadi, bukan institusi. Tindakan tersebut merupakan bentuk penyelewengan yang berujung pada praktik korupsi.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pengelompokan wajib pajak berdasarkan pada perilaku kepatuhan seharusnya berimplikasi pada perbedaan perlakuan (treatment). Kepastian mengenai treatment tersebut sangat penting bagi wajib pajak. Dengan adanya kepastian, wajib pajak juga bisa mengelola risiko kepatuhan pajak.
“Ketika suatu model [pengelompokan] perilaku kepatuhan wajib pajak sudah diadopsi di suatu negara, harus ada kepastian di situ,” ungkap Darussalam.
Untuk kelompok wajib pajak patuh, otoritas bisa memberikan ‘karpet merah’ dari sisi pelayanan. Kemudian, terhadap kelompok wajib pajak ingin patuh, otoritas bisa terus memberikan bimbingan dan arahan dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sementara terhadap wajib pajak yang mencoba tidak patuh, otoritas bisa senantiasa mengingatkan. Lalu, untuk kelompok wajib pajak yang sudah berniat untuk tidak patuh, otoritas bisa melakukan tindakan tegas.
Ketua Komite Perpajakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Siddhi Widyaprathama juga meminta agar DJP tetap perlu mengantisipasi potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan mengingat sudah banyak data yang didapatkan dan diolah. Pasalnya, peningkatan kapasitas akan diikuti munculnya tantangan penjagaan integritas.
"[Upaya meningkatkan kapasitas akan baik] sepanjang dilakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku dan tidak abuse of authority," ujarnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan otoritas sudah memiliki mekanisme pemanfaatan data. Dia juga memastikan keamanan data wajib pajak tetap terjaga. Akses data wajib pajak diberikan secara terbatas kepada pegawai yang memiliki keterkaitan dengan tiap proses bisnis. Selain itu akses data dilakukan secara berjenjang. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.