Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Setiap wajib pajak orang pribadi, termasuk karyawan yang bekerja di perusahaan, diimbau untuk mengecek DJP Online. Tujuannya, memastikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)-nya sudah dipadankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (8/12/2023).
Imbauan yang dikeluarkan DJP ini bukan tanpa alasan. Implementasi pemanfaatan NIK sebagai NPWP makin dekat, yakni terhitung sejak 1 Januari 2024 sesuai dengan PMK 112/2022. Namun, penerapan penuhnya baru akan dilakukan pertengahan 2024, bersamaan dengan dimulainya implementasi coretax administration system.
Pada prinsipnya, wajib pajak pemberi kerja atau perusahaan bisa melakukan pemadanan atas NIK-NPWP milik karyawannya. Apabila NIK-NPWP karyawan sudah dipadankan dan dinyatakan valid, wajib pajak orang pribadi karyawan tidak perlu lagi melakukan pemadanan secara mandiri lewat DJP Online.
Namun, setiap karyawan diimbau tetap mengecek status pemadanan NIK-NPWP secara mandiri. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya data NIK-NPWP yang 'terlewat' dipadankan.
DJP juga bisa melakukan pemadanan NIK-NPWP milik wajib pajak orang pribadi secara sistem. Hanya saja, terkadang ada data NIK yang berbeda dengan NPWP. Hal ini membuat pemadanan secara otomatis gagal dilakukan. Dalam kasus seperti ini, pemadanan secara mandiri perlu dilakukan oleh wajib pajak.
Selain mengenai pemadanan NIK dan NPWP, ada pula ulasan tentang standardisasi layanan kepabeanan ekspor-impor, viralnya ketentuan validasi NIK-NPWP di medsos, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pengendalian pemusnahan sisa pita cukai, hingga layanan DJP berupa outbound call.
Masih soal pemadanan NIK-NPWP, kebijakan ini ternyata viral di media sosial dalam beberapa hari terakhir. Kata kunci atau keyword 'NPWP' bahkan sempat trending di Twitter/X pada Rabu (7/12/2023). Narasi yang terbangun di medsos, bahwa NIK harus digabung dengan NPWP paling lambat 31 Desember 2023.
Perlu dipahami, rencana pemanfaatan NIK sebagai NPWP sebenarnya bukan hal baru. Integrasi NIK-NPWP sudah berjalan sejak 14 Juli 2022. Namun, implementasi penuh pemanfaatan NIK sebagai NPWP baru berjalan pada pertengahan 2024 mendatang bersamaan dengan penerapan coretax administration system. Secara sederhana, nantinya NIK akan berlaku sebagai NPWP.
Kendati implementasi penuh pemanfaatan NIK-NPWP mundur dari rencana awal, PMK 112/2022 tetap mengatur bahwa NIK sudah dimanfaatkan sebagai NPWP per 1 Januari 2024. Artinya, wajib pajak tetap perlu segera memandankan NIK-nya sebagai NPWP.
Sejalan dengan itu, pemerintah masih akan melakukan habituasi atau pembiasaan bagi wajib pajak dalam menggunakan NIK sebagai NPWP. DJP juga masih perlu menjalankan sejumlah pengujian di sistem administrasi perpajakannya. (DDTCNews)
Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor SE-16/BC/2023 mengenai standardisasi pelayanan kepabeanan di bidang ekspor dan impor.
Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan setidaknya ada 3 alasan pelayanan kepabeanan di bidang ekspor dan impor perlu distandardisasi. Pertama, adanya miss-informasi status proses ekspor dan impor yang terjadi pada pengguna jasa.
Kedua, ada pihak-pihak yang tidak berkaitan dengan kegiatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan yang berada di dalam restricted area atau di dalam kawasan pabean. Ketiga, standardisasi pelayanan kepabeanan di bidang ekspor dan impor juga dibutuhkan untuk menyelaraskan kinerja pihak-pihak terkait di pelabuhan atau bandara dengan operasional pelayanan bea cukai. (DDTCNews)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai pengendalian kegiatan pemusnahan sisa pita cukai nonaktif belum memadai.
Hal itu tertuang dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2023. BPK menyatakan pengendalian kegiatan pemusnahan sisa pita cukai nonaktif masih memiliki sejumlah kelemahan sehingga perlu diperbaiki.
"Hal tersebut mengakibatkan adanya risiko penyalahgunaan sisa pita cukai nonaktif," bunyi IHPS I/2023. (DDTCNews)
DJP mencatat telah menelepon 377.635 wajib pajak melalui layanan outbound call sepanjang 2022.
Melalui Laporan Tahunan 2022, DJP menyatakan telah mengembangkan layanan outbound call dalam program click, call, dan counter (3C) untuk mengoptimalkan pelayanan kepada wajib pajak sekaligus melakukan pengawasan.
Dalam hal ini, otoritas turut memanfaatkan outbound call untuk menyampaikan informasi kepada wajib pajak/penanggung pajak melalui telepon. (DDTCNews)
Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) memuat aturan tentang pengenaan pajak parkir dan pajak hiburan. Pajak parkir ditetapkan paling tinggi 25%, sementara pajak hiburan ditetapkan paling rendah 25% dan paling tinggi 75%.
Besaran tarif tersebut lebih tinggi dari ketentuan selama ini yang termuat dalam Perda DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Parkir yang mengatur tarif pajak parkir sebesar 20%.
Sementara itu, Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 mengatyr bahwa pajak hiburan ditetapkan sebesar 25%. (CNBC Indonesia) (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.