Ilustrasi. Gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) terus memperkuat penerapan Revenue Accounting System (RAS) yang mencatat data piutang pajak secara real time sejak 1 Juli 2020.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengungkapkan pada saat ini, RAS baru mendokumentasikan piutang pajak yang berdasarkan surat ketetapan dari DJP. Namun, dia menyebut data piutang pajak di pengadilan pajak juga akan segera terkoneksi dengan RAS.
"Insyaallah ke depan putusan dari pengadilan pajak dapat segera kita integrasikan dengan sistem informasi yang ada di DJP melalui Revenue Accounting System," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (26/8/2020).
Suryo mengatakan penerapan RAS tersebut merupakan upaya DJP menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan.
BPK menilai penatausahaan piutang perpajakan pada DJP masih memiliki kelemahan sehingga diperlukan perbaikan sistem agar pencatatan piutang pajak lebih akurat. Simak pula artikel ‘Naik 6,67%, Porsi Piutang Pajak Macet Paling Besar’.
Suryo menjelaskan sebelum adanya RAS, penatausahaan piutang pajak terbagi dalam dua kelompok. Pertama, penatausahaan piutang pada sistem informasi DJP, mulai dari penerbitan surat piutang sampai dengan penambah dan pengurangan piutang tersebut.
Sistem pada DJP itulah yang mendokumentasikan saldo piutang setiap akhir tahun dan masuk dalam laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP).
Kedua, penatausahaan piutang pajak di luar sistem informasi DJP, khususnya berupa piutang pajak bumi dan bangunan (PBB) serta beberapa putusan yang dihasilkan dari luar institusi DJP seperti putusan banding dari pengadilan pajak dan putusan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.
Menurut Suryo integrasi data pada RAS akan memudahkan DJP mengategorikan piutang yang harus segera ditagih agar tidak melewati periode penagihan aktifnya.”RAS coba kami deploy untuk memastikan pencatatan bertambah dan berkurangnya piutang pajak dapat secara real time kami awasi," ujarnya.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPP 2019, BPK kembali menyoroti saldo piutang perpajakan bruto pada neraca pemerintah pusat tahun anggaran 2019 (audited) mencapai Rp94,69 triliun. Piutang itu naik 16,22% dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp81,47 triliun.
BPK menilai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan masih memiliki kelemahan, baik pada Ditjen Pajak (DJP) maupun Ditjen Bea dan Cukai (DJBC). Sampai 31 Desember 2019, saldo piutang perpajakan pada DJP senilai Rp72,63 triliun, sedangkan pada DJBC senilai Rp22,06 triliun.
BPK pun menuliskan sejumlah rekomendasi untuk menindaklanjuti temuan tersebut, termasuk melanjutkan rekomendasi pada tahun sebelumnya. Pada piutang perpajakan pada DJP, salah satu yang masih disorot adalah mengenai pemutakhiran sistem informasi piutang pajak. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
#MariBicara upaya tersebut juga harus diintegrasikan dengan lembaga lain, dalam hal ini Kejaksaan. Hal itu karena Kejaksaan merupakan lembaga yang menuntut dan mengeksekusi putusan pidana pajak. Sehingga pencarian bukti untuk penuntutan dapat berjalan optimal. Lebih lanjut hal itu untuk mengawasi adanya pajak yang memiliki indikasi kecurangan.