Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada tahun depan menyisakan risiko tidak tercapainya target penerimaan (shortfall). Beberapa media nasional mengangkat topik tersebut pada hari ini, Rabu (14/11/2018).
Risiko penerimaan negara ini muncul karena para pengusaha dipastikan tidak akan memborong pita cukai di akhir tahun. Padahal, efek forestalling selama ini cukup membantu penerimaan cukai pada akhir tahun.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyajikan informasi terkait upaya pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri. Pemerintah tengah mempersiapkan 19 insentif, baik fiskal maupun nonfiskal.
Di sisi lain, beberapa pelaku usaha meminta agar pemerintah menggencarkan aksi ekstensifikasi. Upaya intensifikasi melalui pemeriksaan pajak seharusnya diprioritaskan pada wajib pajak yang tidak memanfaatkan program tax amnesty.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Tidak adanya kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan berpotensi menggerus penerimaan Rp2 triliun pada tahun ini dan Rp7,5 triliun pada tahun depan. Sampai Oktober 2018, penerimaan DJBC mencapai Rp143,5 triliun atau 73,9% dari target. Hingga akhir tahun ini, DJBC masih harus mengejar kekuarangan penerimaan sekitar Rp50,6 triliun.
“Tidak ada [forestalling] untuk tahun ini karena tahun depan kan tidak naik. Namun, kami berupaya paling tidak ‘pas’ mencapai target,” ujar Plt. Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Nugroho Wahyu Widodo.
Untuk mengembangkan kendaraan listrik di dalam negeri, pemerintah tengah mempersiapkan 19 insentif, yang terdiri atas 9 insentif fiskal dan 10 insentif nonfiskal. Hal ini tertuang dalam draf Rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik untuk Transportasi Jalan.
Insentif fiskal itu, beberapa diantaranya terkait dengan pembebasan/pengurangan pajak, penangguhan bea masuk dalam rangka ekspor, pajak penjualan atas barang mewah, serta bea masuk ditanggung pemerintah atas importasi bahan baku dan/atau bahan penolong.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani berujar dengan upaya ekstensifikasi, akan ada peningkatan tax ratio karena ada tambahan wajib pajak baru. Dengan demikian, peluang penurunan tarif juga terbuka.
“Tax base meningkat, tax rate bisa menurun, agar bersaing dengan negara lain,” katanya.
Pemerintah sedang memperbarui regulasi pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PBNP) pertambangan batubara. Dalam rancangan itu, tarif PPh badan akan berkurang dari 45% menjadi 25%. Namun, ada kenaikan tarif pungutan Dana Hasil Produksi Batubara dari 13,5% menjadi 15%. Selain itu, ada tambahan PNBP untuk pemerintah pusat dan daerah dengan total 10% dari laba bersih.
Rancangan regulasi diharapkan selesai tahun ini, bersamaan dengan revisi Peraturan Pemerintah No. 23/2010 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Revisi ini berhubungan dengan upaya pengalihan status dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan revisi daftar negatif investasi (DNI) akan diharmonisasikan dengan sejumlah kebijakan baru pemerintah, seperti insentif pajak tax holiday dan online single submission (OSS). Revisi DNI akan diluncurkan pada akhir bulan ini. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.