Ilustrasi. (Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti kerentanan utang pemerintah.
Menanggapi hal tersebut, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman menegaskan pemerintah terus berupaya mengelola pembiayaan APBN secara hati-hati di tengah pandemi Covid-19. APBN, sambungnya, telah berperan sebagai instrumen countercyclical.
"Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global," katanya, Kamis (24/6/2021).
Luky mengatakan Kemenkeu mengapresiasi kerja keras BPK dalam melaksanakan audit serta memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap LKPP 2020. Kemenkeu juga mengapresiasi rekomendasi BPK tentang pengelolaan pembiayaan karena terkait dengan penjagaan akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara.
Pandemi Covid-19, sambungnya, merupakan kejadian luar biasa dan menjadi tantangan berat bagi hampir semua negara di dunia. Kebanyakan negara juga mengambil kebijakan countercyclical untuk menjaga perekonomian sehingga berimplikasi pada pelebaran defisit APBN, termasuk Indonesia.
Mengenai rekomendasi International Monetary Fund (IMF) mengenai batas rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) berkisar 25%-35%, Luky mengatakan hal itu sulit dilakukan ketika situasi pandemi.
"Dalam kondisi pandemi saat ini, hampir tidak ada negara rasio utangnya di kisaran itu," katanya.
Rasio utang Indonesia pada akhir 2020 tercatat sebesar 39,39% PDB, sementara Filipina 48,9%, Thailand 50,4%, China 61,7%, Korea Selatan 48,4%, dan Amerika Serikat 131,2%.
Luky menambahkan pemerintah telah melakukan kebijakan extraordinary untuk menjaga pembiayaan pada kondisi aman serta menekan biaya utang. Salah satunya dilakukan dengan kebijakan burden sharing dengan Bank Indonesia (BI).
Kemudian, ada strategi pengelolaan pembiayaan melalui upaya menurunkan yield pada 2020 sehingga dapat menekan yield surat berharga negara (SBN) sekitar 250 basis poin mencapai 5,85% pada akhir tahun atau turun 17%.
Dengan berbagai respons kebijakan tersebut, Luky menilai ekonomi Indonesia pada 2020 cenderung tumbuh relatif cukup baik dibandingkan dengan performa negara lain. Selain itu, lembaga pemeringkat kredit internasional juga mengapresiasi pengelolaan ekonomi dan pembiayaan Indonesia dengan mempertahankan peringkat ketika 124 negara mengalami downgrade.
Sebelumnya, BPK menilai tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara. Kondisi itu memunculkan kekhawatiran negara tidak mampu untuk membayarnya.
Pada 2020, realisasi pendapatan negara sebesar Rp1.647,78 triliun atau mencapai 96,93% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat Rp2.595,48 triliun atau 94,75% dari pagu. Dengan realisasi tersebut, defisit anggaran dilaporkan mencapai Rp947,70 triliun atau 6,14% terhadap PDB. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Utang Indonesia yang bertambah untuk penanganan Covid-19 tentu saja membawa kekhawatiran di masyarakat. Selain mengelola pembiayaan APBN secara hati-hati di tengah pandemi Covid-19, BPK dan Kementrian keuangan juga perlu mengontrol proses lajur keluar uang. Karena adanya korupsi Bansos yang sebelumnya terjadi membawa traumatis sendiri bagi masyarakat.