Ilustrasi logo DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Beberapa perubahan proses bisnis dan prosedur layanan telah dilakukan Ditjen Pajak (DJP) sejak reformasi perpajakan digulirkan pada akhir 2016.
DJP dalam laman resminya mengungkapkan perubahan proses bisnis dan prosedur terutama pada digitalisasi layanan pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan pajak. Hal ini dinilai semakin memudahkan masyarakat Indonesia untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Semua digitalisasi layanan adalah tuntutan zaman yang tak bisa dielakkan lagi. Selaras dengan dua dari lima pilar reformasi perpajakan, yakni proses bisnis dan peraturan perundang-undangan,” demikian penjelasan DJP melalui laman resminya, seperti dikutip pada Senin (25/2/2019).
Reformasi perpajakan, sambung DJP, menginginkan proses bisnis yang sederhana. Hal ini penting untuk membuat pekerjaan menjadi efisien (sangkil), efektif (mangkus), akuntabel, berbasis teknologi informasi, dan mencakup seluruh pekerjaan DJP. Apa saja perubahannya?
Pertama, prosedur terkait tata cara pendaftaran wajib pajak (WP) dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 147/PMK.03/2017.
Dengan aturan yang baru, menurut DJP, ada manfaat bagi WP. Manfaat itu antara lain menyangkut permohonan pendaftaran NPWP, perubahan data dan pemindahan WP, pengukuhan PKP, aktivasi Sertifikat Elektronik, pencabutan PKP, dan penghapusan NPWP dapat dilakukan secara elektronik.
“Selain itu, pendaftaran dapat melalui saluran tertentu sehingga pendaftaran tidak hanya dilakukan di kantor pajak tempat WP terdaftar,” papar DJP.
Masih dengan regulasi yang sama, WP badan dapat melakukan pendaftaran NPWP dalam proses pengesahan badan hukum oleh notaris melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). Kebijakan ini diberikan untuk meningkatkan kemudahan layanan pendaftaran.
Hal serupa juga berlaku bagi pelaku usaha perseorangan yang belum memiliki NPWP. Mereka, sambung DJP, dapat mendaftar sebagai WP orang pribadi pada saat proses penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui sistem Online Single Submission(OSS).
Kedua, pembuatan billing secara massal melalui e-Billing versi 2.0. Layanan ini disediakan DJP karena volume pembuatan kodebilling dan transaksi pembayaran yang tinggi oleh WP Bendahara atau BUMN. Aplikasi ini mempermudah pembuatan kode billing karena data pembayaran massal dapat diunggah langsung.
Ketiga, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) atas penghasilan dari hak atas tanah dan/atau bangunan dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan. Dengan PMK No. 261/PMK.03/2016, besaran PPh final turun dari 5% menjadi 2,5%.
Selain itu, pengenaan PPh final itu dikecualikan untuk WP orang pribadi yang memiliki penghasilan di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Pengecualian itu berlaku atas penjualan rumah atau tanah dengan nilai penjualan kurang dari Rp60 juta.
“Terpenting lagi, aturan itu memberikan pembebasan PPh final bagi WP orang pribadi yang menghibahkan atau mewariskan aset propertinya kepada keluarga sedarah atau untuk organisasi sosial dan keagamaan,” jelas DJP.
Keempat, tidak perlunya lampiran keterangan dan/atau dokumen pendukung seperti surat setoran pajak (SSP) bagi SPT Tahunan 1770S dan 1770SS dengan status nihil atau kurang bayar yang disampaikan melalui e-Filing. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-2/PJ/2019.
Pengecualian dari kewajiban menyampaikan SSP ini berlaku bagi semua jenis SPT yang disampaikan melalui e-Filing, selama NTPN telah dicantumkan. Selain itu, ada fasilitas e-Form yang dapat diisi dan disimpan secara offline dan diunggah ke sistem DJP setelah diisi lengkap.
Semua jenis SPT, termasuk SPT Pembetulan dan SPT Masa lebih bayar, juga dapat diterima di KP2KP dan layanan di luar kantor. Regulasi ini diharapkan meringankan beban administrasi WP sehingga diharapkan dapat memberikan kemudahan berusaha kepada masyarakat.
Kelima, adanya e-Bupot yang dapat mempermudah WP dalam membuat bukti pemotongan di mana saja dan kapan saja. Hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-4/PJ/2017. Aplikasi e-Bupot PPh 23/26 dapat membuat e-Billing langsung sesuai kode MAP-KJS atas bukti pemotongan yang telah dibuat.
“Wajib pajak tidak perlu lagi melampirkan dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT seperti SSP, Pbk, SKB, dan SKD, melainkan hanya perlu memasukkan nomor dokumen yang akan divalidasi oleh sistem,” jelas DJP.
Aplikasi e-Bupot juga telah menyediakan fitur QR-Code pada bukti pemotongan dan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) SPT. Ada data yang dapat ditelusuri oleh pihak pemotong dan pihak yang dipotong dari QR-Code itu. Ada pula menu impor bukti pemotongan bagi wajib pajak dengan transaksi cukup banyak. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.