Ekonom Senior Indef Dradjad H Wibowo (tengah) dan anggota DPR M. Misbakhun (kedua kanan). (Foto: DDTCNews)
JAKARTA, DDTCNews – Kinerja penciptaan lapangan kerja pada 3 tahun pertama Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2015-2017) lebih rendah dari pencapaian era SBY-Boediono (2010-2012), tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan era SBY-Jusuf Kalla (2005-2007).
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dradjad H Wibowo mengatakan kinerja penciptaan lapangan kerja tersebut diukur dari dua indikator, yaitu jumlah tambahan penduduk bekerja dan rasio penciptaan kerja per 1% pertumbuhan ekonomi.
Dari indikator itu terlihat tambahan penduduk bekerja pada 2015-2017 mencapai 2,1 juta dengan rasio penciptaan kerja 426.297. Kinerja ini lebih rendah dari capaian 2010-2012 yang masing-masing 2,9 juta dan 467.082, tetapi lebih tinggi dari 2005-2007 yakni 1,7 juta dan 287.062.
“Ini artinya, penciptaan kerja di era Jokowi-JK belum maksimal. Untuk itu dalam sisa 2 tahun ini paling tidak ada dua hal yang bisa dilakukan, yaitu fokus ke program penciptaan kerja, dan menghapus regulasi yang menghambat penciptaan kerja,” ujarnya, Selasa (20/2/2018)
Selain itu, pemerintah harus bisa menahan diri untuk membuat regulasi yang menghambat penciptaan kerja, terutama untuk sektor yang tumbuh dari inisiatif warga dan terbukti menolong pertumbuhan seperti ojek online dan e-commerce.
Mengenai perbandingan kinerja antarpemerintahan itu sendiri, Dradjad memberi catatan, penciptaan kerja pada 2005-2007 terbilang rendah terutama karena krisis minyak yang direspons pemerintah dengan menaikkan harga BBM sebesar 29% pada 2005.
Sebaliknya, penciptaan kerja pada 2015-2017 ditolong terutama oleh kinerja tahun 2017, yang mencatat tambahan penduduk bekerja 3,25 juta dan rasio penciptaan kerja hampir 650.000. “Terus terang kami agak sangsi dengan angka ini. Tinggi sekali, tapi ya ini angka yang resmi.”
Dalam kesempatan sama, anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun mengatakan membandingkan kinerja penciptaan kerja pada tiga periode pemerintahan itu harus hati-hati. Pasalnya, ada variabel lain yang tidak bisa diabaikan, misalnya pengaruh faktor eksternal.
“Pertumbuhan ekonomi China misalnya pada era SBY-Boediono 2010-2012 itu tinggi sekali, dan tentu memengaruhi kinerja perekonomian berikut rasio penciptaan kerjanya. Sebaliknya, pada periode pemerintahan sekarang perekonomian China ini melemah,” katanya.
Namun, ia juga mencatat perlunya relaksasi untuk aturan-aturan yang menghambat pertumbuhan, seperti aturan loan to value untuk kredit properti yang sudah seharusnya dihapuskan mengingat anjloknya sektor properti dalam 2 tahun terakhir. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.