Komisioner Komisi Yudisial RI dan Pengajar STH Indonesia Jentera Binziad Kadafi (dua dari kanan).
JAKARTA, DDTCNews - Komisi Yudisial (KY) menegaskan pengawasan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim (KEPPH) terhadap hakim pajak tidak berbeda dengan hakim pada lembaga peradilan lainnya.
Komisioner KY Binziad Kadafi mengatakan sesuai dengan amanat undang-undang, KY melaksanakan pengawasan untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam pelaksanaannya, tidak ada perbedaan pengawasan terhadap hakim pajak atau hakim lainnya.
"Di mata Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan hakim, hakim pajak tidak berbeda dengan hakim yang lain atau hakim ad hoc,” katanya dalam webinar Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak, Rabu (7/6/2023).
Binziad mengatakan UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan pengadilan pajak merupakan pengadilan khusus yang dibentuk di peradilan tata usaha negara. Posisi pengadilan pajak pun sejajar dengan pengadilan-pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan peradilan lain.
Pasal 20 UU 22/2004 juga memerinci kewenangan KY dalam melakukan pengawasan, antara lain melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim; menerima laporan masyarakat berkaitan dengan KEPPH; serta melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi.
Kemudian, KY juga berwenang memutuskan benar atau tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH; serta melakukan advokasi terhadap hakim yang alami dugaan perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Binziad mengatakan KY melakukan pengawasan terhadap 8.672 hakim di Indonesia. KY telah menerima lebih dari 1.500 pengaduan masyarakat dan memeriksa rata-rata 400 laporan setiap tahun. Setiap tahun, ada sekitar 80 rekomendasi kepada Mahkamah Agung untuk penjatuhan sanksi.
Terkait dengan hakim Pengadilan Pajak, berdasarkan pada Sistem Informasi Penelusuran Laporan Masyarakat (SIPLM), ada 23 surat yang masuk ke KY sejak 2015. Dari jumlah itu, hanya 4 yang diregister. Hasil pemeriksaan di KY, keempat dugaan pelanggaran KEPPH itu dinyatakan tidak terbukti.
Binziad mengatakan jumlah laporan terhadap hakim Pengadilan Pajak itu relatif sangat sedikit. Hal ini bisa menyiratkan 2 kemungkinan. Pertama, reformasi yang dijalankan berhasil. Kedua, Pengadilan Pajak seperti bekerja di ‘alam sendiri’ yang lepas dari pengawasan publik secara keseluruhan.
“Bagaimana kemudian keputusan-keputusannya bisa dikritisi kalau expertise-nya di dunia keilmuan itu tidak terbangun, kalau enggak kampus yang sehari-hari bahas soal Pengadilan Pajak, baik struktur lembaga maupun produk-produk putusannya,” jelasnya.
Oleh karena itu, dia juga mendorong adanya ahli yang dicetak dari kalangan akademik. Dia pun berharap banyak pihak, termasuk civil society organization (CSO), bisa memberi perhatian terhadap isu pajak.
Kemudian, penerbitan buku yang menyajikan perbandingan dengan negara lain seperti yang sudah dirintis DDTC perlu terus dilakukan. Belum lama ini, DDTC telah menerbitkan buku berjudul Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia: Persoalan, Tantangan, dan Tinjauan di Beberapa Negara.
“Kita butuh comparative perspective untuk tahu best practice secara internasional seperti apa. Ini guna menjawab pertanyaan-pertanyaan konkret yang menjadi PR (pekerjaan rumah) besar kita,” imbuh Binziad.
Selain Binziad, diskusi publik bertajuk Peran dan Masa Depan Pengadilan Pajak juga menghadirkan narasumber kompeten lainnya, yakni Founder DDTC Darussalam dan Pengajar STH Indonesia Jentera sekaligus Peneliti LeIP Dian Rositawati.
Diskusi publik ini menghadirkan Ketua Bidang Studi Hukum Bisnis STH Indonesia Jentera Muhammad Faiz Aziz sebagai moderator. Publik bisa mengikutinya melalui live streaming Youtube. Dalam acara yang sama, STIH Jentera juga memperbarui kesepakatan kerja sama pendidikan dengan DDTC. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.