JAKARTA, DDTCNews - Banjir pertanyaan menghiasi sesi diskusi Tax Talk yang digelat Ditjen Pajak dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Jakarta, Kamis (14/02/2019). Sebagian besar belum memahami fasilitas fiskal berupa pajak penghasilan (PPh) final 0,5% untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Pertanyaan tersebut banyak datang dari pengusaha yang mulai merintis bisnis melalui virtual office di kawasan Gatot Subroto Jakarta. Sebagian pelaku usaha tersebut masih belum memahami syarat dan tata cara mendapatkan fasilitas yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.23/2018.
Salah satu peserta diskusi bertanya apakah kebijakan tersebut dipakai bergantian dengam rezim pajak normal dengan tarif 25%. Menurutnya, usaha yang dijalankan perusahaannya berfluktuasi tiap tahun dan apakah dimungkinkan fasilitas pajak digunakan secara fleksibel dengan rezim pajak normal.
Mendapati pertanyaan tersebut, Kepala Seksi Ekstensifikasi Pajak KPP Setia Budi III, Yusuf mengatakan fasilitas tersebut berlaku konsisten dan tidak dapat berubah-ubah dengan rezim pajak normal. Ketika fasilitas diberikan maka ada tenggang waktu penggunaan mulai dari 3-7 tahun tergantung subjek pajak.
"Jadi tidak bisa berubah kalau tahun ini rugi maka pakai rezim normal kemudian tahun depan beralih ke PPh Final 0,5%. Jadi konsisten mau pakai rezim normal atau fasilitas dari PP23/2018 dengan 0,5%," katanya, Kamis (14/02/2019).
Menanggapi hujan pertanyaan mulai dari skema, tarif dan tata cara, Yusuf mengatakan tidak mengharapkan pelaku usaha di Jakarta untuk menggunakan rezim pajak normal. Pasalnya, ada dua keuntungan dari harapannya tersebut.
Pertama, dengan tidak gunakan fasilitas PPh 0,5% maka kapasitas keuangan perusahan lebih besar dari ambang batas omset Rp4,8 miliar per tahun yang menjadi syarat menggunakan fasilitas PPh final 0,5%. Kedua, maka secara otomatis setoran pajak yang lebih besar masuk ke kas negara.
"KPP Setiabudi III itu wilayahnya dari Celennial Tower ini sampai Gedung Sampoerna Stategic Square Sudirman. Kan tidak akan berkembang kalau omset pengusahanya hanya bergerak di Rp1 miliar-Rp3 miliar, jadi harus naik kelas," terangnya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.