Majalah Inside Tax edisi Mei 2008 dan buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua – Vol 1).
JAKARTA, DDTCNews – Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU) dalam transaksi dengan pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa, termasuk transfer pricing, masih menjadi bagian dari instrumen pencegahan praktik penghindaran pajak.
Arm’s length principle (ALP) itu sejatinya sudah muncul dalam Pasal 18 ayat (3) UU 10/1994 yang merupakan perubahan kedua dari UU 7/1983 tentang Pajak Penghasilan. Pasal itu mengalami penyesuaian melalui UU 36/2008.
Setelah itu, bunyi Pasal 18 ayat (3) tidak tidak berubah lagi, bahkan melalui UU 7/2021. Namun, melalui UU 7/2021, pemerintah dan DPR menyepakati perubahan bagian Penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Silakan baca ketentuannya dalam UU PPh s.t.d.t.d UU HPP:
Mengutip bagian Penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP, ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak karena adanya hubungan istimewa. Wajib pajak melakukan penghindaran pajak dengan cara, antara lain:
“Dalam hal demikian, direktur jenderal pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa,” bunyi penggalan bagian penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.
PKKU atau ALP, sesuai dengan bagian penjelasan UU tersebut, adalah prinsip di dalam praktik bisnis yang sehat sebagaimana berlaku di antara pihak-pihak yang tidak memiliki dan/atau dipengaruhi hubungan istimewa. ‘Apa itu Arm’s Length Principle? Simak Penjelasannya di Video Ini’.
Setidaknya ada 2 dari 8 mekanisme khusus pencegahan penghindaran pajak (specific anti-avoidance rule/SAAR) dalam Bab VII PP 55/2022 yang menjadi turunan dari Pasal 18 ayat (3) UU PPh s.t.d.t.d UU HPP. Simak ‘Indonesia Kini Punya Instrumen Khusus dan Umum Antipenghindaran Pajak’.
Pertama, menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak yang dilakukan oleh direktur jenderal pajak dengan menerapkan PKKU (Pasal 32 ayat (2) huruf b PP 55/2022).
Kedua, menghitung kembali pajak yang seharusnya terutang berdasarkan pembandingan kinerja keuangan dengan wajib pajak dalam kegiatan usaha yang sejenis. Mekanisme ini dilakukan terhadap wajib pajak yang melaporkan laba usaha terlalu kecil dibandingkan kinerja keuangan wajib pajak lainnya dalam bidang usaha yang sejenis.
Selain laba usaha yang terlalu kecil, indikator lain yang dilihat adalah adanya laporan rugi usaha secara tidak wajar meskipun wajib pajak telah melakukan penjualan secara komersial selama 5 tahun dan melaporkan kerugian fiskal selama 3 tahun berturut-turut (Pasal 32 ayat (2) huruf f PP 55/2022).
“Pembandingan kinerja keuangan wajib pajak dengan wajib pajak lain dalam kegiatan usaha yang sejenis (benchmarking) dapat dilakukan dengan membandingkan harga atau tingkat laba tertentu pada tingkat entitas, divisi, atau transaksi,” bunyi Penjelasan Pasal 32 ayat (2) huruf f PP 55/2022.
Sesuai dengan Pasal 35 PP 55/2022, PKKU harus diterapkan oleh wajib pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang dipengaruhi hubungan istimewa. Transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa itu meliputi:
Sebelum adanya UU HPP, pengaturan terkait dengan PKKU atau ALP yang berlaku tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/PMK.03/2020. Adapun tahapan penerapan ALP terbagi menjadi 6 langkah. ‘Simak, Tahapan Penerapan Prinsip Kewajaran & Kelaziman Usaha (ALP)’.
PENERAPAN PKKU atau ALP berkaitan dengan istilah hubungan istimewa dan penentuan harga transfer (transfer pricing). Melalui PP 55/2022, pemerintah juga memberikan pengaturan terkait dengan hubungan istimewa.
Singkatnya, hubungan istimewa merupakan keadaaan ketergantungan atau keterikatan satu pihak dengan pihak lainnya. Keterikatan itu disebabkan kepemilikan atau penyertaan modal, penguasaan, atau hubungan keluarga sedarah/semenda. Hal ini mengakibatkan pihak satu dapat mengendalikan pihak yang lain atau tidak berdiri bebas dalam menjalankan usaha/melakukan kegiatan.
Ketentuan terkait dengan hubungan istimewa dalam PP 55/2022 ini tidak berbeda jauh dengan ketentuan pada Pasal 4 PMK 22/2020. Hanya saja, salah satu perbedaannya terletak pada kriteria dalam kondisi hubungan istimewa atas penguasaan. ‘Catat! Ternyata Ini Definisi Hubungan Istimewa dalam PP 55/2022’.
Kemudian, sesuai dengan Pasal 36 PP 55/2022, direktur jenderal pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak jika wajib pajak:
“Penentuan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan … dilakukan dengan menentukan harga transfer sesuai prinsip kewajaran dan kelaziman usaha untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak,” bunyi penggalan Pasal 36 ayat (2) PP 55/2022.
Penentuan harga transfer sesuai PKKU dilakukan dengan menggunakan metode perbandingan harga antarpihak yang independen; metode harga penjualan kembali; metode biaya-plus; atau metode lainnya.
Metode lainnya seperti metode pembagian laba; metode laba bersih transaksional; metode perbandingan transaksi independen; metode dalam penilaian harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud; atau metode dalam penilaian bisnis.
Dalam Pasal 45 PP 55/2022, pemerintah juga mengatur mengenai permohonan kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA). APA dapat mencakup seluruh atau sebagian transaksi afiliasi selama periode APA dan pemberlakuan mundur (jika wajib pajak memintanya).
Topik mengenai PKKU atau ALP, hubungan istimewa, dan transfer pricing sering diulas profesional DDTC dalam berbagai publikasi. Majalah Inside Tax edisi Mei 2008 secara khusus mengangkat tema Pemeriksaan Transfer Pricing.
Melalui edisi itu, redaksi Inside Tax memberikan catatan mengenai perlunya untuk membuat aturan yang komprehensif untuk penanganan transfer pricing. Terlebih, pada waktu itu, belum ada kriteria-kriteria khusus bagi perusahaan yang akan dijadikan target pemeriksaan masalah transfer pricing.
DDTC juga telah menerbitkan buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional pada 2013. Buku ini juga telah diperbarui pada 2022 dengan Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua – Vol 1).
Profesional DDTC juga aktif menyampaikan gagasan melalui publikasi internasional. Sejumlah karya profesional DDTC juga dibukukan oleh penerbit terpercaya seperti IBFD, TaxAnalyst, Law Business Research, Belgrade Law Review, Routledge, Linde, Expert Guides, hingga Cambridge University Press.
Dalam buku Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional (Edisi Kedua – Vol 1), DDTC juga secara khusus membahas mengenai ALP. Secara sederhana, ALP dapat dipahami sebagai suatu pendekatan yang melihat entitas-entitas dalam perusahaan multinasional secara independen dan tidak terintegrasi.
Entitas yang terpisah dan melakukan transaksi afiliasi tersebut kemudian diperbandingkan dengan suatu transaksi independen yang didorong oleh kekuatan pasar. Jika dipahami secara mendalam, ALP memiliki konteks yang tidak hanya terbatas pada suatu harga, tetapi juga pada struktur, perilaku, dan kinerja dari perusahaan independen.
Dalam ulasannya, B. Bawono Kristiaji dan David Hamzah Damian mengatakan ALP membutuhkan beberapa asumsi dasar yang pada akhirnya dipergunakan untuk membangun tahapan analisis yang diperlukan. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa pada dasarnya transfer pricing adalah suatu aktivitas yang dipengaruhi oleh motif ekonomi, yaitu memaksimalkan kinerja perusahaan.
Selain itu, fakta transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah suatu fenomena bisnis. Dengan demikian, diperlukan suatu penelusuran ide dasar atau teori-teori umum dari bidang keilmuan ekonomi, manajemen, dan akuntansi, khususnya yang terkait dengan fenomena ini.
ALP masih menjadi prinsip yang digunakan dalam analisis transfer pricing pasca-BEPS. Namun, penerapan ALP pasca-BEPS itu sendiri mengalami perubahan. Penerapan ALP pasca-BEPS berfokus pada substansi ekonomi dan melibatkan analisis fungsi dan risiko yang mendalam.
Lebih dari 50% bagian laba suatu perusahaan turut ditentukan oleh jenis industri di tempat perusahaan tersebut beroperasi. Oleh karena itu, dalam aplikasi ALP, otoritas pajak juga menggunakan tren industri untuk mengidentifikasi adanya indikasi manipulasi transfer pricing.
Hal itu juga sudah mulai muncul dengan adanya mekanisme pencegahan penghindaran pajak dalam PP 55/2022, terutama terkait dengan skema benchmarking. Seperti dijelaskan di awal, DJP dapat melihat laporan laba usaha yang terlalu kecil dibandingkan kinerja keuangan wajib pajak lainnya dalam bidang usaha yang sejenis.
Melihat perkembangan tersebut, pengaturan instrumen pencegahan penghindaran pajak makin perlu diperhatikan. Terlebih, melalui UU HPP, pemerintah sudah mulai banyak memasukkan perkembangan dan tren global terkait dengan pajak internasional.
Ulasan-ulasan yang disampaikan para profesional DDTC dalam berbagai publikasi juga makin relevan untuk dibaca-baca kembali. Terlebih, PP 55/2022 masih mendelagasikan ketentuan teknis mengenai ALP ke dalam PMK. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.