Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Giyarso (kanan) bersama Penyuluh Pajak Ahli Pertama DJP Iqbal Rahadian dalam Taxlive bertajuk Ultimum Remedium pada Tindak Pidana Perpajakan, Kamis (22/9/2022).
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan kembali adanya penerapan asas ultimum remedium—hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum—pada tahap pemeriksaan bukti permulaan.
Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Giyarso mengatakan penerapan asas ultimum remedium dilakukan pada 3 tahapan, yakni pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan persidangan. Dengan asas ini, otoritas lebih mengutamakan jalur administratif dalam penyelesaian tindak pidana perpajakan.
“Jika sudah terlanjur melakukan tindak pidana perpajakan, tolong dimanfaatkan ultimum remedium. Pada tahap pemeriksaan bukti permulaan ini sanksinya masih lebih sedikit dibanding tahapan selanjutnya,” kata Giyarso dalam Taxlive bertajuk Ultimum Remedium pada Tindak Pidana Perpajakan, Kamis (22/9/2022).
Sesuai dengan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemeriksaan bukti permulaan (bukper) dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana pada bidang perpajakan.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP, walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukper, wajib pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya.
Ketidakbenaran perbuatan itu adalah pertama, tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT). Kedua, menyampaikan SPT dengan isi tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar. Perbuatan itu sesuai dengan Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan d.
Dalam tahap ini, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan dapat dilakukan sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat kepolisian.
Giyarso mengatakan penyampaian pernyataan tertulis tersebut disertai dengan pelunasan kekurangan pembayaran pajak ditambah dengan sanksi denda. Adapun sesuai dengan Pasal 8 ayat (3a), sanksi denda yang dimaksud sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
“Sebelumnya [dalam aturan terdahulu] sanksi denda ini 150%. Sekarang 100%. Ini merupakan kemudahan,” imbuh Giyarso.
Dia menambahkan sesuai dengan PMK 18/2021, dengan adanya pengungkapan ketidakbenaran dengan kemauan sendiri—sehingga pajak sudah sesuai dengan kondisi sebenarnya—, pemeriksaan bukper dihentikan atau tidak ditingkatkan ke penyidikan.
“Jadi pengungkapan ketidakbenaran itu jangan tanggung-tanggung. All out,” katanya. (Fikri/kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.