KONSEP permanent establishment (PE) atau bentuk usaha tetap (BUT) memiliki peran penting dalam pemajakan laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya secara lintas batas. Laba usaha hanya dapat dipajaki di negara domisili perusahaan tersebut, kecuali perusahaan tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan negara tempat laba usaha tersebut diperoleh.
Hubungan yang dimaksud terbentuk saat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya di negara sumber penghasilan melalui suatu BUT. Artinya, negara sumber penghasilan tidak dapat memajaki laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri, tanpa adanya BUT di negara sumber penghasilan.
Penjelasan mengenai pengertian BUT terdapat dalam Pasal 5 Ayat (1) OECD Model yang memiliki rumusan, yaitu sebagai berikut: “For the purpose of this Convention, the term ‘permanent establishment’ means a fixed place of business through which the business of an enterprise is wholly or partly carried on.”
Pasal 5 ayat (1) di atas menyatakan bahwa BUT adalah suatu tempat usaha tetap, yang melalui tempat usaha tetap tersebut kegiatan usaha dari suatu perusahaan dijalankan secara sebagian atau secara keseluruhan. Pada umumnya, terdapat kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar dapat terbentuk suatu BUT (Khan, 2000).
Pertama, adanya tempat usaha (place of business test). Kedua, tempat usaha tersebut didirikan di suatu lokasi tertentu (location test). Ketiga, subjek pajak harus mempunyai hak untuk memanfaatkan tempat usaha tersebut (right use test). Keempat, penggunaan tempat usaha tersebut harus bersifat permanen atau dalam waktu yang melebihi periode waktu tertentu (permanent test).
Adapun kondisi kelima, kegiatan yang dilakukan melalui tempat usaha tersebut harus merupakan kegiatan usaha sebagaimana pengertian kegiatan usaha yang diatur dalam ketentuan domestik maupun perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) (business activity test). Terakhir, apabila salah satu kondisi di atas tidak terpenuhi, BUT tidak akan terbentuk. Artikel ini mengulas pengertian dari salah satu kondisi di atas, yaitu place of business.
Makna Place of Business dalam Konsep BUT
Suatu ‘place’ atau ‘tempat’ untuk dapat dikategorikan sebagai BUT harus memenuhi place of business test. Definisi tentang place of business tidak diberikan dalam pasal-pasal yang terdapat dalam model P3B.
Kendati demikian, dalam Paragraf 4 OECD Commentary atas Pasal 5, dinyatakan bahwa tempat usaha tersebut meliputi setiap tempat, fasilitas, atau instalasi yang dipergunakan untuk menjalankan kegiatan usaha, tanpa memperhatikan apakah dipergunakan semata-mata untuk tujuan tersebut.
Tempat usaha yang dimaksud misalnya dapat berupa kantor, gudang, bengkel, pabrik, tempat usaha lainnya atau dapat juga mencakup mesin dan peralatan. Secara prinsip, hanya aktiva tetap berwujud yang dianggap sebagai BUT. Kepemilikan saham dan aktiva tetap tidak berwujud tidak dapat menimbulkan BUT (Larcier & IBFD, 2009).
Ruangan tertentu dalam suatu bangunan dapat dikatakan sebagai tempat usaha sepanjang melalui ruangan tersebut perusahaan dapat menjalankan kegiatan usahanya. Dalam menentukan apakah suatu tempat usaha dapat dikatakan menjadi BUT, tidak dipermasalahkan bagaimana cara memperoleh tempat usaha yang terdiri dari gedung, fasilitas, atau instalasi tersebut, apakah dibeli atau disewa.
Pasal 5 ayat (2) dari OECD Model memberikan contoh-contoh suatu tempat usaha yang dapat dikategorikan sebagai BUT atau yang disebut dengan ‘positive list’. Contoh-contoh tempat usaha yang dikategorikan sebagai BUT adalah sebagai berikut:
Walaupun Pasal 5 ayat (2) di atas tidak memasukkan mesin dan peralatan dalam positive list, tetapi Paragraf 1 OECD Commentary atas Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa mesin atau peralatan dapat dikategorikan sebagai tempat usaha (place of business). Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa untuk dapat menjadi BUT, mesin-mesin atau peralatan tersebut tidak semata-mata digunakan untuk kegiatan usaha yang dilakukan secara rutin, tetapi juga tetap memperhatikan ‘permanent test’ serta terpenuhinya‘at the disposal test’.
Dengan demikian, mesin penjual serta meja kerja yang berada di karavan, kemudian restoran yang berada di dalam kapal yang berlabuh secara permanen di suatu sungai, rig minyak, atau generator pada kereta api, semua itu memenuhi syarat sebagai tempat usaha karena sifatnya yang mungkin saja bersifat tetap. Artinya, keberadaan suatu properti harus nyata untuk dapat memenuhi terbentuknya tempat usaha yang dianggap sebagai BUT. Sebaliknya, keberadaan software, sekuritas, paten, goodwill, serta aset ekonomi tak berwujud lainnya, tentunya tidak dapat membentuk BUT (Williams, 2014).
Sehubungan dengan tempat usaha ini, pada kasus 'German Pipeline', diketahui bahwa suatu subjek pajak dalam negeri Belanda memiliki pipa minyak bawah tanah yang berlokasi di Jerman, yang digunakan untuk transportasi produk petroleum kepada pelanggan. Walaupun pipa tersebut seluruhnya dioperasikan oleh teknisi yang berada di Belanda, keberadaan pipa minyak bawah tanah tersebut dianggap telah memenuhi tempat usaha tetap yang membentuk BUT.
Lebih lanjut, sehubungan dengan tempat usaha ini juga terdapat isu terkait apakah peralatan atau mesin substansial yang terdapat di negara sumber penghasilan dapat dikategorikan sebagai BUT. Pada sebagian besar P3B yang dimiliki oleh Australia terdapat ketentuan mengenai hal ini. Berikut adalah rumusannya: “Permanent establishment includes, by virtue of paragraph (b) of its definition in subsection 6(1) of the ITAA 1936: ... a place where the person has, is using or installing substantial equipment or substantial machinery;...”.
Ketentuan terkait instalasi peralatan atau mesin-mesin substansial yang dapat dikategorikan sebagai BUT tentunya memunculkan sejumlah pertanyaan. Misalnya, mengenai ukuran dari peralatan, jumlah (apabila beberapa bagian peralatan yang digunakan), nilai, dan pentingnya peralatan tersebut (apakah peralatan tersebut mempunyai peran penting dalam aktivitas usaha perusahaan dalam mendapatkan laba). Namun demikian, terkait peralatan substansial ini, sejumlah kalangan menilai bahwa yang paling penting adalah mengenai masalah ukuran dan nilai.
Selanjutnya, otoritas pajak Australia (Australian Tax Office atau disingkat menjadi ‘ATO’) melalui ATO ID 2006/337, membuat regulasi bahwa dalam hal sistem komputer yang dimiliki oleh subjek pajak luar negeri digunakan oleh suatu perusahaan sekuritas di negara sumber penghasilan, keberadaan sistem komputer tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai peralatan yang substansial sehingga tidak terdapat isu BUT di dalamnya. Kemudian, diatur juga bahwa suatu peralatan masuk dalam kategori substansial apabila terdiri dari sepuluh bagian perangkat keras dengan berat sebesar 164 kg dan memiliki nilai sebesar $200,000. Termasuk juga di dalamnya adalah server atau router dan perangkat lunak yang digunakan untuk akses pasar serta alogaritma perdagangan.
Terkait dengan makna place of business ini, Pemerintah Indonesia juga menerbitkan ketentuan baru terkait kriteria bentuk usaha yang dikategorikan sebagai BUT, yaitu Peraturan Menteri Keuangan No.35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (PMK 35/2019). Dalam beleid itu, BUT dikatakan sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi asing atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Adapun kriteria yang dipenuhi untuk penentuan BUT dibagi menjadi tiga kelompok. Ketiga kriteria itu antara lain:
Dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 35/2019 disebutkan tempat usaha mencakup segala jenis tempat, ruang, fasilitas, atau instalasi, termasuk mesin atau peralatan, yang digunakan orang pribadi atau badan asing untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan. Dalam beleid itu, disebutkan 12 wujud tempat usaha, yaitu:
Dalam beleid itu, adanya tempat usaha ditentukan tanpa memperhatikan apakah orang pribadi asing atau badan asing memiliki atau menyewa atau apakah berhak secara hukum menggunakan tempat usaha tersebut.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.