KAMUS PAJAK

Apa Itu SPPT dan SKP PBB?

Nora Galuh Candra Asmarani | Rabu, 14 Oktober 2020 | 18:25 WIB
Apa Itu SPPT dan SKP PBB?

MERUJUK Pasal 10 ayat (1) UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Dirjen Pajak akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah disampaikan wajib pajak. Simak “Apa Itu SPOP, LSPOP, dan LKOK PBB?

SPPT yang diterbitkan Dirjen Pajak untuk PBB sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lainnya (PBB-P3). Sementara itu, bSPPT untuk PBB sektor perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) akan diterbitkan oleh Kepala Daerah. Simak ‘Beda PBB-P2 dan PBB-P3’.

Selain SPPT, pada kondisi tertentu, Dirjen Pajak atau Kepala Daerah bisa menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP). SPPT, SKP, dan SPT inilah yang menjadi dasar penagihan PBB . Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan SPPT, SKP, dan SPT PBB?

Baca Juga:
Update 2024, Apa Itu Pemindahbukuan (Pbk)?

Definisi
BERDASARKAN Pasal 1 angka 5 UU PBB, SPPT adalah surat yang digunakan Ditjen Pajak (DJP) untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) UU PBB menerangkan SPPT diterbitkan berdasarkan SPOP yang disampaikan wajib pajak.

Namun, tidak semua wajib pajak diberikan SPOP dan diwajibkan mengembalikannya. Penjelasan Pasal 9 ayat (1) UU PBB menerangkan wajib pajak yang pernah dikenakan Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda) tidak wajib mendaftarkan objek pajaknya kecuali jika ia menerima SPOP.

Adapun Ipeda merupakan cikal bakal dari PBB yang kini sudah dicabut dan digantikan dengan PBB dengan diundangkannya Undang-Undang (UU) No 12/1985 tentang PBB. UU No.12/1985 kemudian diperbarui menjadi UU No.12/1994 dan telah bertransformasi sedemikan rupa.

Baca Juga:
Masih Ada Insentif Pajak Bumi dan Bangunan di DKI Sampai November 2024

Selain berdasarkan SPOP, SPPT juga dapat diterbitkan berdasarkan data yang sudah ada pada DJP. Hal ini dilakukan untuk mempermudah wajib pajak. SPPT ini harus dilunasi oleh wajib pajak paling lambat 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT.

SPPT setidaknya memiliki 5 fungsi. Pertama, sebagai dasar penagihan pajak. Kedua, sebagai bukti terdaftarnya objek pajak. Ketiga, sebagai dasar penerbitan STP. Keempat, sebagai kelengkapan administrasi perpajakan lain.

Kelima, untuk keperluan administrasi pemenuhan kewajiban pembayaran atau pelunasan PBB. Hal yang perlu menjadi catatan adalah SPPT bukan merupakan bukti kepemilikan objek pajak. Pasalnya, fungsi utama SPPT adalah untuk memberitahukan besaran PBB terutang.

Baca Juga:
Gara-Gara Kades Tak Sebarkan SPPT ke WP, Penerimaan PBB-P2 Terhambat

Merujuk pada Pasal 1 angka 5 PMK 78/2016, SKP PBB adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok PBB atau selisih pokok PBB, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah PBB yang terutang.

Dirjen Pajak dapat mengeluarkan SKP apabila SPOP tidak disampaikan kembali dalam waktu 30 hari sejak diterima. Apabila wajib pajak tersebut tetap belum mengembalikan SPOP yang diterima setelah ditegur secara tertulis maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP PBB.

Dirjen Pajak juga dapat mengeluarkan SKP PBB dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan wajib pajak.

Baca Juga:
Sengketa PBB Akibat Perbedaan Penetapan NJOP Bumi Perkebunan

Wajib pajak yang diterbitkan SKP akan dikenai sanksi berupa denda sebesar 25% dari pokok pajak. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP ini harus dilunasi maksimal 1 bulan sejak tanggal diterimanya SKP PBB.

Sementara itu, berdasarkan pasal 1 angka 6 PMK 78/2016 STP PBB adalah surat tagihan pajak yang digunakan untuk menagih pajak terutang dalam SPPT dan SKP yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dan/atau untuk menagih sanksi administrasi.

SPPT dan SKPD PBB-P2
PENJELASAN mengenai definisi SPPT, SKP, dan STP PBB-P2 tidak jauh berbeda dengan yang telah dijabarkan pada PBB-P3. Namun, perbedaan utama terletak pada lembaga yang mengatur dan menerbitkan, objek pajak, dan ketentuannya merujuk pada UU PDRD dan peraturan daerah.

Baca Juga:
Apa Itu Dokumen CK-1C?

Berdasarkan Pasal 1 angka 54 UU PDRD, SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada wajib pajak. Kepala daerah menerbitkan SPPT berdasarkan data yang tertuang dalam SPOP yang disampaikan subjek pajak.

Selain menerbitkan SPPT, dalam keadaan tertentu bupati/wali kota dapat menerbitkan SKP Daerah (SKPD). SKPD ini surat yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang. Alasan yang mendasari dapat diterbitkannya SKPD PBB-P2 sama dengan penerbitan SKP PBB-P3.

Bupati/wali kota juga dapat menerbitkan STP Daerah (STPD) apabila PBB-P2 tahun berjalan tidak atau kurang dibayar dan wajib pajak dikenai sanksi administrasi bunga dan/atau denda. Bentuk, isi, tata cara penerbitan dan penyampaian SPPT, SKPD, dan SPTD ditetapkan oleh bupati/wali kota.

Baca Juga:
Apa Itu CEISA yang Dikembangkan Ditjen Bea Cukai?

Simpulan
SPPT PBB adalah surat yang memberitahukan besarnya PBB terutang yang harus dilunasi dalam jangka waktu tertentu. SKP PBB merupakan surat yang diterbitkan apabila wajib pajak tidak mengembalikan SPOP atau berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata jumlah pajak terutang lebih besar.

Sementara itu, STP PBB merupakan surat yang diterbitkan untuk menagih pajak terutang dalam SPPT dan SKP yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo, sekaligus menagih sanksi administrasi yang dikenakan terhadap wajib pajak. (Bsi)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

21 Oktober 2020 | 22:56 WIB

wah, keren. komperhensif dan mudah dipahami, memudahkan sekali bagi saya untuk memahami SPPT dan SKP PBB.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 16 Desember 2024 | 17:00 WIB KAMUS PAJAK

Update 2024, Apa Itu Pengembalian PPN untuk Turis Asing?

Jumat, 13 Desember 2024 | 17:30 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu PPh Pasal 29?

Rabu, 11 Desember 2024 | 18:30 WIB KAMUS PAJAK

Apa Itu Uang Persediaan Pengembalian Pajak?

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 17:00 WIB KILAS BALIK 2024

April 2024: WP Terpilih Ikut Uji Coba Coretax, Bonus Pegawai Kena TER

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN MONETER

2025, BI Beli SBN di Pasar Sekunder dan Debt Switch dengan Pemerintah

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:30 WIB KABUPATEN KUDUS

Ditopang Pajak Penerangan Jalan dan PBB-P2, Pajak Daerah Tembus Target

Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak