Assistant Manager of DDTC Consulting Yurike Yuki dalam seminar bertajuk The Role of Tax Treaties on Global Business: Reforming Global Tax Rules to Combat Digital-Era Tax Avoidance, Sabtu (16/11/2024).
BANDUNG, DDTCNews - Kehadiran pajak minimum global dengan tarif efektif minimal sebesar 15% memberikan implikasi terhadap capital importing countries, termasuk Indonesia.
Assistant Manager of DDTC Consulting Yurike Yuki mengatakan hadirnya pajak minimum global berdasarkan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) membatasi ruang gerak capital importing countries dalam memberikan insentif pajak yang bertujuan untuk menarik investasi riil.
"Kita sebagai negara-negara berkembang lebih memilih untuk menerapkan partial race to the bottom. Jadi kita tidak menurunkan tarif pajak secara berlebihan, tetapi kita memberikan insentif kepada investor asing agar mereka menanamkan modal di Indonesia," ujar Yurike dalam seminar bertajuk The Role of Tax Treaties on Global Business: Reforming Global Tax Rules to Combat Digital-Era Tax Avoidance, Sabtu (16/11/2024).
Lebih lanjut, pajak minimum global yang diusung oleh OECD sesungguhnya juga menyimpang dari BEPS Action 5: Harmful Tax Practices. Melalui BEPS Action 5, OECD secara rutin mengevaluasi insentif-insentif yang bertujuan untuk menarik paper profit tanpa substansi ekonomi.
Dengan berlakunya pajak minimum global, insentif-insentif yang bertujuan untuk menarik investasi riil dan memiliki substansi ekonomi juga turut dibatasi. Pasalnya, laba yang kurang dipajaki akibat insentif yang tidak dikategorikan harmful juga akan dikenai top-up tax sesuai dengan Pilar 2.
"Hal ini mengonfirmasi pandangan Reuven Avi-Yonah yang mengatakan skema semacam pajak minimum global ini tidak akan mengeliminasi kompetisi pajak. Dia justru akan mengeliminasi negara berkembang untuk merespons perkembangan kompetisi dalam perebutan investasi," ujar Yurike.
Akibat pajak minimum global, negara berkembang harus berkompetisi dengan negara maju yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan insentif nonpajak seperti kepastian hukum, stabilitas ekonomi dan politik, serta infrastruktur yang memadai.
Berkaca dengan kondisi di atas, Yurike berpandangan Indonesia perlu mendesain arsitektur insentif pajak yang mampu menarik investor asing, tetapi tetap sejalan dengan ketentuan pajak minimum global.
Sebagai informasi, pajak minimum global dengan tarif efektif minimal sebesar 15% diberlakukan berdasarkan Pilar 2 terhadap grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal €750 juta per tahun.
Dengan hadirnya Pilar 2, yurisdiksi sumber berhak mengenakan top-up tax atas laba entitas perusahaan multinasional yang berlokasi di yurisdiksi bersangkutan yang dipajaki di bawah tarif efektif 15%. Top-up tax oleh yurisdiksi sumber dikenakan bila yurisdiksi dimaksud sudah mengadopsi QDMTT.
Bila yurisdiksi sumber tidak memberlakukan QDMTT atas laba yang kurang dipajaki, yurisdiksi ultimate parent entity (UPE) berhak mengenakan top-up tax atas laba yang kurang dipajaki oleh yurisdiksi sumber. Top-up tax oleh yurisdiksi sumber dikenakan dengan mengacu pada IIR.
Dalam hal yurisdiksi UPE tidak menerapkan IIR dan yurisdiksi sumber tidak menerapkan QDMTT, yurisdiksi lain bisa mengenakan top-up tax melalui pembatalan pembebanan biaya (denial of deduction) atau penyesuaian yang setara melalui mekanisme undertaxed profit rule (UTPR).
Indonesia sendiri berencana untuk mengimplementasikan QDMTT dan IIR pada 2025, sedangkan UTPR baru akan diimplementasikan pada 2026.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.